A. Latar belakang masalah
Sebagaimana yang telah di ketahui bahwa tindakan
kekerasan terhadap anak pada saat ini sangat meluas, baik itu kekerasan dalam
keluarga maupun pendidikan.biasanya pelaku kekerasan dalam keluarga adalah
orang tua,sedangkan dalam pendidikan biasanya di lakukan oleh oknum guru kepada
muridnya.Dengan berbagai alasan mereka melakukan tindakan kekerasan yang secara
di sadari atau tidak di sadari dapat menimbulkan dampak yang sangat besar pada
kondisi kejiwaan anak.tindakan kekerasan yang terjadi biasannya tindak
kekerasan yang nampak dan tidak nampak, dalam arti kekerasan yang nampak adalah
kekerasan terhadap fisik anak dan kekerasan tidak nampak adalah kekerasan yang
terjadi pada psikis anak.
Budaya
kekerasan (violence) yang berkembang dalam masyarakat juga berpengaruh besar.
Praktik, teladan, atau perilaku kekerasan yang di pertontonkan oleh aparat (
misalnya : oknum polisi yang menyiksa dalam proses penyidikan ),media cetak
atau elektronik (berita-berita kriminak, cerita atau film yang menonjolkan
kekerasan) jelass ikut berkontribusi dalam “mengarahkan” tindakan para orang
tua untuk melakukan hal yang sama (kekerasan).karena kekerasan menjadi sesuatu
yang terus “mengejala”, maka walhasil menjadi semacam culture, sehingga secara
awah sadar sedikit demi sedikit, lama kelamaan, masyarakat menganggapnya
sebagai kelumrahan atau kewajaran yang tak perlu di permasalahkan.Apa lagi jika
kemudian praktik kekerasan terhadap anak berlindung di balik jubah “dalam
rangka pendidikan”, ”dalam rangka pendisiplinan”, dan sejenisnya. Padahal, atas
nama apapun dan demi apapun, kekerasan terhadap anak tidak seyogianya terjadi,
dan atas nama hukum pelakunya haris di beri sanksi sesuai aturan atau hukum
yang berlaku.
1. Arti dari kekerasan
2. Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak
3. Jenis kekerasan yang sering di terima anak dan
akibatnya
4. Undang-undang Tentang Kekerasan Terhadap Anak
5. Solusi dari permasalahan tersebut
C. Tujuan pembahasan
1. Untuk dapat mengetahui arti dari kekerasan
2. Agar mendapat pengetahuan tentang sebab-sebab
kenakalan remaja
3. Agar dapat mengetahui jenis kekerasan yang sering di
terima anak
4. Agar dapat mengetahui akibat dari tindakan kekerasan
tersebut
D. Manfaat pembahasan
1. Memberikan suatu pemahaman mengenai kekerasan terhadap
anak,yang dapat mengakibatkan dampak yang sangat besar bagi fisik maupun psikis
anak.
2. Memberikan suatu pembelajaran bagi para orang tua
tentang akibat dari kekerasan terhadap anak,
yang akhir-akhir ini sering terjadi.
3. Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Pendidikan Budi
Pekerti.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian kekerasan
Kekerasan
berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam
Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok orang ataumasyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar
mengakibatkan memar/trauma,kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan
atau perampasan hak.
Menurut Sutanto (2006),
kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan
menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan,
kesengsaraan, cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk
penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Jika kekerasan
terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal
tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah
tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga (www.ocn.ne.jp)
adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar
batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah;
seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan
tersebut dilakukan di dalam rumah.
Banyak orangtua menganggap
kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari
mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling
bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan
kelangsungan hidup,dan mengoptimalkan tumbuh
kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal
aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakatPenyebab
terjadinya kekerasan terhadap anak
Komisi Nasional Perlindungan Anak menilai faktor ekonomi
sebagai pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. “Kemiskinan menyumbang
stress terhadap orang tua yang kemudian melampiaskan ke anak”, ujar Ketua
Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi. Faktor kemiskinan, tekanan
hidup yang semakin meningkat, kemarahan terhadap pasanagn dan ketidakberdayaan
dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi
kepada anak. Diperparah dengan berbagai kebijakan pembiaran yang dilakukan
negara terhadap pelanggaran hak anak. Kejadian seperti busung lapar, polio,
demam berdarah, anak terlantar, anak putus sekolah sampai pada kenaikan BBM
merupakan sebagian daftar panjang kebijakan negara yang semakin mempersulit
kehidupan masyarakat menengah kebawah. Beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab
terjadinya kekerasan terhadap anak adalah :
1. Tidak
ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan terhadap anak-anak
Bapak yang mencambuk anaknya tidak dipersoalkan
tetangganya, selama anak itu tidak meninggal atau tidak dilaporkan ke polisi.
Sebagai bapak, ia melihat anaknya sebagai hak milik dia yang dapat diperlakukan
sekehendak hatinya. Tidak ada aturan hukum yang melindungi anak dari perlakuan
buruk orang tua atau wali atau orang dewasa lainnya. Saya mempunyai teman dirumah yang kebetulan
anak seorang tentara. Kegiatan di rumah diatur sesuai jadual yang ditetapkan
orang tuanya. Ia harus belajar sampai menjelang tengah malam. Subuh harus
bangun untuk bekerja membersihkan rumah. Bila ia itu melanggar, ia pasti
ditempeleng atau dipukuli. Sang Bapak sama sekali tidak merasa bersalah. Ia
beranggapan melakukan semuanya demi kebaikan anak. Mengatur anak tanpa
mempertimbangkan kehendak anak dianggap sudah menjadi kewajiban orang tua.
2. Hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di
masyarakat
Atasan tidak boleh dibantah.
Aparat pemerintah harus selalu dipatuhi. Guru harus di gugu dan ditiru. Orang
tua wajib ditaati. Dalam hirarkhi sosial seperti itu anak-anak berada dalam
anak tangga terbawah. Guru dapat menyuruhnya untuk berlari telanjang atau push
up sebanyak-banyaknya tanpa mendapat sanksi hukum. Orang tua dapat memukul
anaknya pada waktu yang lama tanpa merasa bersalah. Selalu muncul pemahaman
bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak pernah dianggap mitra sehingga dalam
kondisi apapun anak harus menuruti apapun kehendak orang tua. Hirarkhi sosial
ini muncul karena tranformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalunya.
Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh mendebat barang
sepatahpun. Orang dewasa melihat anak-anak sebagai bakal manusia dan bukan
sebagai manusia yang hak asasinya tidak boleh dilanggar.
3. Kemiskinan
Kita akan menemukan bahwa para pelaku dan juga koban
kekerasan anak kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah.
Kemiskinan, yang tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena
struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan subkultur
kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami stress yang
berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik
tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah
kekerasan emosional. Pada saat tertentu bapak bisa meradang dan membentak anak
di hadapan banyak orang. Terjadi kekerasan verbal.
1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental,
gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu,memiliki temperamen lemah,
ketidaktahuan anak akan hak-haknya, dan terlalubergantung kepada orang dewasa.
2. Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu
dalam jangka panjang, atau keluarga tanpa
ayah.
3. Keluarga yang belum matang secara
psikologis,ketidakmampuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak
realistis, anak yang tidak diinginkan
(unwanted child ), anak lahir di luar
nikah.
4. Pengulangan sejarah kekerasan: orang tua yang dulu
sering ditelantarkan atau mendapat perlakukan kekerasan sering memperlakukan
anak-anaknya dengan pola yang sama.
5. Kondisi lingkungan sosial yang buruk,
keterbelakangan.Namun, di luar faktor-faktor tersebut, sebenarnya kekerasan
struktural menjadi problem utama kehidupan anak-anak Indonesia. Karena sifatnya
struktural, terutama akibat kemiskinan.
faktor-faktor lain seperti rendahnya tingkat
pendidikan, pengangguran, dantekanan mental,
termasuk lemahnya kesadaran hukum masyarakat dan lemahnya penegak hukum
memperkuat tingkat kekerasan terhadap anak.Kerapuhan ekonomi dan kehidupanyang
serba kurang memberikan tekanan bagi keluarga, dan kemudian memunculkan
rasafrustasi. Keadaan frustasi ini, dengan pemicu yang seringkali sederhana,
mampumembangkitkan tingkah laku agresi.
Objeknya adalah sesama anggota keluarga, danseringkali anak karena
posisinya yang lemah.
B.
Jenis
kekerasan yang sering diterima anak
1.
Penyiksaan fisik
Segala bentuk penyiksaan fisik terjadi ketika orang tua frustrasi atau marah, kemudian melakukan tindakan-tindakan agresif secara fisik, dapat berupa cubitan, pukulan, tendangan, menyulut dengan rokok, membakar, dan tindakan - tindakan lain yang dapat membahayakan anak. Sangat sulit dibayangkan bagaimana orang tua dapat melukai anaknya. Sering kali penyiksaan fisik adalah hasil dari hukuman fisik yang bertujuan menegakkan disiplin, yang tidak sesuai dengan usia anak. Banyak orang tua ingin menjadi orang tua yang baik, tapi lepas kendali dalam mengatasi perilaku sang anak.
Dampak kekerasan fisik
Anak
yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat
agresif, dan set elah
menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif
melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang
dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa
semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang
diterima manusia ketika dia masih kecil.
Penyiksaan yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, dan meninggalkan bekas baik fisik maupun psikis, anak menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan trust kepada orang lain, perilaku merusak, dll. Dan bila kejadian berulang ini terjadi maka proses recoverynya membutuhkan waktu yang lebih lama pula.
2.
Penyiksaan emosi
Penyiksaan emosi adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan orang lain. Jika hal ini menjadi pola perilaku maka akan mengganggu proses perkembangan anak selanjutnya. Hal ini dikarenakan konsep diri anak terganggu, selanjutnya anak merasa tidak berharga untuk dicintai dan dikasihi. Anak yang terus menerus dipermalukan, dihina, diancam atau ditolak akan menimbulkan penderitaan yang tidak kalah hebatnya dari penderitaan fisik.
Bayi yang menderita deprivasi (kekurangan) kebutuhan dasar emosional, meskipun secara fisik terpelihara dengan baik, biasanya tidak bisa bertahan hidup. Deprivasi emosional tahap awal akan menjadikan bayi tumbuh dalam kecemasan dan rasa tidak aman, dimana bayi lambat perkembangannya, atau akhirnya mempunyai rasa percaya diri yang rendah.
Jenis-jenis penyiksaan emosi adalah:
·
Penolakan
Orang
tua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan, mengusir anak, atau
memanggil anak dengan sebutan yang kurang menyenangkan. Kadang anak menjadi
kambing hitam segala problem yang ada dalam keluarga.
·
Tidak diperhatikan
Orang tua yang mempunyai masalah emosional
biasanya tidak dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka. Orang tua jenis ini
mengalami problem kelekatan dengan anak. Mereka menunjukkan sikap tidak
tertarik pada anak, sukar memberi kasih sayang, atau bahkan tidak menyadari
akan kehadiran anaknya. Banyak orang tua yang secara fisik selalu ada disamping
anak, tetapi secara emosi sama sekali tidak memenuhi kebutuhan emosional anak.
·
Ancaman
Orang
tua mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak. Dalam jangka panjang
keadaan ini mengakibatkan anak terlambat perkembangannya, atau bahkan
terancam kematian.
·
Isolasi
Bentuknya
dapat berupa orang tua tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan bersama teman
sebayanya, atau bayi dibiarkan dalam kamarnya sehingga kurang mendapat
stimulasi dari lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu sampai
waktu tertentu.
·
Pembiaran
Membiarkan
anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol, berlaku kejam terhadap binatang,
melihat tayangan porno, atau terlibat dalam tindak kejahatan seperti mencuri,
berjudi, berbohong, dan sebagainya. Untuk anak yang lebih kecil, membiarkannya
menonton adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di televisi termasuk juga
dalam kategori penyiksaan emosi.
Dampak
kekerasan emosi
Unicef
(1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti
dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti
bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan,
anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki
dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar
diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata
seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang
tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya
rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik
diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan
bunuh diri;
3.
Pelecehan seksual
Sampai saat ini tidaklah mudah membicarakan hal ini, atau untuk menyadarkan masyarakat bahwa pelecehan seksual pada setiap usia – termasuk bayi - mempunyai angka yang sangat tinggi. Bahkan Hopper (2004) mengemukakan bahwa hal ini terjadi setiap hari di Amerika Serikat.
Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya.
Semua tindakan yang melibatkan anak dalam kesenangan
seksual masuk dalam kategori ini:
·
Pelecehan seksual
tanpa sentuhan. Termasuk di dalamnya jika anak melihat pornografi, atau
exhibitionisme, dsb.
·
Pelecehan seksual
dengan sentuhan. Semua tindakan anak menyentuh organ seksual orang dewasa
termasuk dalam kategori ini. Atau adanya penetrasi ke dalam vagina atau anak
dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan medis.
·
Eksploitasi
seksual. Meliputi semua tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi,
atau menggunakan anak sebagai model foto atau film porno. Ada beberapa indikasi
yang patut kita perhatikan berkaitan dengan pelecehan seksual yang mungkin
menimpa anak seperti keluhan sakit atau gatal pada vagina anak, kesulitan duduk
atau berjalan, atau menunjukkan gejala kelainan seksual.
Dampak kekerasan seksual
Menurut Mulyadi
(Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku,
takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski
kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual
yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab
keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang
masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya
tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur,
kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau
adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
4. Pengabaian anak
Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Pengabaian anak banyak dilaporkan sebagai kasus terbesar dalam kasus penganiayaan terhadap anak dalam keluarga.
Jenis-jenis pengabaian anak:
·
Pengabaian fisik
merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis,
pengawasan yang kurang memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa
aman dalam keluarga.
·
Pengabaian pendidikan
terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang sesuai padahal anak
tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini dapat
mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun.
·
Pengabaian secara
emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak
ketika ´ribut´ dengan pasangannya. Atau orang tua memberikan perlakuan dan
kasih sayang yang berbeda diantara anakanaknya.
·
Pengabaian fasilitas
medis. Hal ini terjadi ketika orang tua gagal menyediakan layanan medis untuk
anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orang tua memberi
pengobatan tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali ke
layanan dokter.
Efek
pengabaian anak
Pengaruh yang paling terlihat adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Bayi yang dipisahkan dari orang tuanya dan tidak memperoleh pengganti pengasuh yang memadai, akan mengembangkan perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab (Hurlock, 1990), dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
C.
Undang-Undang tentang Kekerasan terhadap Anak
Kasus kekerasan terhadap anak cenderung meningkat,
meski pemerintah mengeluarkan beberpa UU yang mengaturnya. Untuk menangani
kekerasan terhadap anak, pemerintah juga perlu membentuk tim penanggulangan
kasus tersebut seperti yang diterapkan di Malaysia. Tim itu terdiri atas wakil
dari unsur rumah sakit, tenaga perlindungan anak dari Departemen Sosial,
kepolisian, ahli hukum, perwakilan sekolah dan pengelola data. Dr. Irwanto mengakui, saat ini ada
beberapa undang-undang (UU) terkait perlindungan terhadap anak yakni UU Nomor
23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU tentang Perlindungan Korban dan
Sanksi, serta UU tentang Narkotika. Tapi semua
UU tidak lengkap dan tidak harmonis satu sama lain. Banyak definisi yang
bertentangan. Bahkan ada beberapa pasal didalamnya yang merugikan anak dan
belum dicabut, misalnya tentang usia tanggung jawab kriminal anak. Untuk itu,
kata Dr. Irwanto, selain menyempurnakan peraturan perundangan yang ada
pemerintah dan pihak terkait juga harus menyiapakan mekanisme intervensi
nasional untuk mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap anak. Penerapan
mekanisme intervenesi nasional itu harus didukung oleh lembaga lintas
sektor dan profesi serta sepenuhnya dibiayai oleh negara. Diberlakukannya
UU No. 23/2002 tentang perlindungan anak seolah menjadi antilimaks dari
aktivis perlindungan anak. Padahal UU ini saja tidak cukup untuk menurunkan
tingkat kejadian kekerasan terhadap anak . UU ini juga belum dapat diharapkan
untuk mempunyai efek deteran karena belum banyak dikenal oleh aparat maupaum
masyarakat.
Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak akan terus
berlanjut dan jumlah kejadiannya tidak akan menurun kerena sikon hidup saat ini
sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalm rumah
tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling lemah dalam keluarga itu.
Anak adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain. Kekerasan
dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan dan anak-anak merupakan masalah
yang sulit di atasi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa anggota keluarga itu
milik laki-laki dan masalah kekerasan di dalam rumah tangga adalah masalah
pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sebetulnya Indonesia telah
meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan dan Undang-Undang No. 7/1984, Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak serta Undang-Undang No. 29 tahun 1999. Sering pejabat terkait
seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak yang kurang memahami
sehingga setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak atau
Hak Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH Pidana. Oleh karena
itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No. 23 Tahun 2004
tanggal 22 September 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan
damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat melaksanaan
hak dan kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan dalam
membangun keutuhan rumah tangga. Sosialisasi
ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui
radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat
umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu
PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih merupakan delik aduan,
maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam
rumah tangga kepada kepolisian.
D.
Solusi Pemecahan
Masalah
Kekerasan terhadap anak yang mulai menjangkiti
masyarakat ini sudah selayaknya jika mendapat penanganan yang lebih baik dan
serius dari pihakpihak yang terkait baik itu pemerintah maupun masyarakat.
Alternatif saran untuk memecahkan masalah kekerasan terhadap anak yang sudah
mulai kronis ini, yaitu ;
1.
Sosialisasi yang
lebih gencar lagi dari pemerintah tentang pentingnya
untuk
segera melaporkan apabila terjadi tindak kekerasan. Hal ini mungkin tidak
dilakukan oleh korban sendiri yang notabene masih anak-anak tapi bisa dilakukan
oleh orang-orang dewasa di sekitarnya, baik yang memiliki hubungan darah maupun
orang lain di sekitarnya. Jadi bagaimana pemerintah mengemas publikasi untuk
penanganan korban kekerasan sesegera mungkin dan pemerintah juga harus lebih
memudahkan prosedur bantuannya.
2.
Hendaknya
lembaga-lembaga baik pemerintahan maupun LSM atau
organisasi
yang bergerak di bidang penanganan korban kekerasan ini memperhatikan aspek
psikologis pelaku maupun korban ketika proses menjalani bantuan pemecahan
masalah agar tidak semakin membebani
3.
Hendaknya mulai
ditanamkan kesadaran di masyarakat bahwa anak
bukanlah
milik orang tua atau kerabat saja yang bisa diperlakukan sesukanya tapi sebagai
suatu tanggung jawab yang harus dijaga dan dilindungi
4.
Terjadinya kerjasama
semua pihak, semua pihak mulai berempati dan
menunjukkan
kepeduliannya terhadap anak berupa perlindungan dan peningkatan kesejahteraan.
5.
Pendidikan dan
Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup
Dari beberapa faktor yang telah kita
bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak,
sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka.
Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan
pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua
mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak
kekerasan.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. kesimpulan
Upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak jelas
menjadi kewajiban pemerintah,yang didukung oleh keluarga dan masyarakat.
Masyarakat Indonesia modern ternyatabelum
sadar bahwa anak memiliki hak penuh untuk diperlakukan secara manusiawi.Anak harus mendapatkan jaminan keberlangsungan
hidup dan perkembangannya dibawah naungan ketetapan hukum yang pasti,
yang harus dijalankan semua pihak, baik keluarga
masyarakat maupun pemerintah (negara). Sehingga anak bisa tumbuh danberkembang
dengan baik serta jauh dari berbagai tindak kekerasan. Kita menyadaribahwa
kekerasan telah meremukkan kekayaan imajinasi, keriangan hati, kreatifitas,bahkan masa depan anak-anak kita.
B.
Saran
Segala bentuk kekerasan terhadap anak merupakan suatu tindakan yang amat sangat di sayangkan, karena dapat mengganggu perkembangan anak baik fisik maupun psikis, oleh karena itu untuk dapat mengantisipasi adanya tindakan kekerasan tersebut sangatlah penting adanya sosialisasi terhadap masyarakat, utamanya para orang tua agar dalam mendidik anak tidak disertai adanya suatu tindakan yang dapat menghambat tumbuh kembang buah hati.
Pemberian sanksi hukum untuk oknum pelaku tindak kekerasan juga sangat
mempengaruhi, karena akan sedikit banyak akan membuat efek jera bagi para
pelaku. Sebenarnya kekerasan yang di terima anak sangatlah banyak, namun banyak
pula yang tidak mendapat perlindungan dalam segi hukum dan kenyamanan bagi
korban, semua itu tentunya disebabkan adanya ketakutan dari korban untuk melaporkan
kepada pihak yang berwenang, untuk itu peran serta masyarakat untuk
bersama-sama memberikan perlindungan kepada korban dengan melaporkan setiap
bentuk kekerasan kepada pihak yang berwenang akan sanangat meminimalisirkan
bentuk kekerasan itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar