Minggu, 24 Maret 2013

kekerasan terhadap anak



A.      Latar belakang masalah
       Sebagaimana yang telah di ketahui bahwa tindakan kekerasan terhadap anak pada saat ini sangat meluas, baik itu kekerasan dalam keluarga maupun pendidikan.biasanya pelaku kekerasan dalam keluarga adalah orang tua,sedangkan dalam pendidikan biasanya di lakukan oleh oknum guru kepada muridnya.Dengan berbagai alasan mereka melakukan tindakan kekerasan yang secara di sadari atau tidak di sadari dapat menimbulkan dampak yang sangat besar pada kondisi kejiwaan anak.tindakan kekerasan yang terjadi biasannya tindak kekerasan yang nampak dan tidak nampak, dalam arti kekerasan yang nampak adalah kekerasan terhadap fisik anak dan kekerasan tidak nampak adalah kekerasan yang terjadi pada psikis anak.
         Budaya kekerasan (violence) yang berkembang dalam masyarakat juga berpengaruh besar. Praktik, teladan, atau perilaku kekerasan yang di pertontonkan oleh aparat ( misalnya : oknum polisi yang menyiksa dalam proses penyidikan ),media cetak atau elektronik (berita-berita kriminak, cerita atau film yang menonjolkan kekerasan) jelass ikut berkontribusi dalam “mengarahkan” tindakan para orang tua untuk melakukan hal yang sama (kekerasan).karena kekerasan menjadi sesuatu yang terus “mengejala”, maka walhasil menjadi semacam culture, sehingga secara awah sadar sedikit demi sedikit, lama kelamaan, masyarakat menganggapnya sebagai kelumrahan atau kewajaran yang tak perlu di permasalahkan.Apa lagi jika kemudian praktik kekerasan terhadap anak berlindung di balik jubah “dalam rangka pendidikan”, ”dalam rangka pendisiplinan”, dan sejenisnya. Padahal, atas nama apapun dan demi apapun, kekerasan terhadap anak tidak seyogianya terjadi, dan atas nama hukum pelakunya haris di beri sanksi sesuai aturan atau hukum yang berlaku.

B. Rumusan masalah
1.    Arti dari kekerasan
2.    Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap   Anak
3.    Jenis kekerasan yang sering di terima anak dan akibatnya
4.    Undang-undang Tentang Kekerasan Terhadap Anak
5.    Solusi dari permasalahan tersebut
C.       Tujuan pembahasan
1.    Untuk dapat mengetahui arti dari kekerasan
2.    Agar mendapat pengetahuan tentang sebab-sebab kenakalan remaja
3.    Agar dapat mengetahui jenis kekerasan yang sering di terima anak
4.    Agar dapat mengetahui akibat dari tindakan kekerasan tersebut
D.       Manfaat pembahasan
1.    Memberikan suatu pemahaman mengenai kekerasan terhadap anak,yang dapat mengakibatkan dampak yang sangat besar bagi fisik maupun psikis anak.
2.    Memberikan suatu pembelajaran bagi para orang tua tentang akibat dari kekerasan terhadap anak,  yang akhir-akhir ini sering terjadi.
3.    Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Pendidikan Budi Pekerti.

BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian kekerasan
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang ataumasyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma,kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga (www.ocn.ne.jp) adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah.
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup,dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakatPenyebab terjadinya kekerasan terhadap anak
Komisi Nasional Perlindungan Anak menilai faktor ekonomi sebagai pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. “Kemiskinan menyumbang stress terhadap orang tua yang kemudian melampiaskan ke anak”, ujar Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi. Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang semakin meningkat, kemarahan terhadap pasanagn dan ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak. Diperparah dengan berbagai kebijakan pembiaran yang dilakukan negara terhadap pelanggaran hak anak. Kejadian seperti busung lapar, polio, demam berdarah, anak terlantar, anak putus sekolah sampai pada kenaikan BBM merupakan sebagian daftar panjang kebijakan negara yang semakin mempersulit kehidupan masyarakat menengah kebawah. Beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak adalah :
1. Tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan terhadap anak-anak
Bapak yang mencambuk anaknya tidak dipersoalkan tetangganya, selama anak itu tidak meninggal atau tidak dilaporkan ke polisi. Sebagai bapak, ia melihat anaknya sebagai hak milik dia yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. Tidak ada aturan hukum yang melindungi anak dari perlakuan buruk orang tua atau wali atau orang dewasa lainnya.  Saya mempunyai teman dirumah yang kebetulan anak seorang tentara. Kegiatan di rumah diatur sesuai jadual yang ditetapkan orang tuanya. Ia harus belajar sampai menjelang tengah malam. Subuh harus bangun untuk bekerja membersihkan rumah. Bila ia itu melanggar, ia pasti ditempeleng atau dipukuli. Sang Bapak sama sekali tidak merasa bersalah. Ia beranggapan melakukan semuanya demi kebaikan anak. Mengatur anak tanpa mempertimbangkan kehendak anak dianggap sudah menjadi kewajiban orang tua.
2. Hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat
Atasan tidak boleh dibantah. Aparat pemerintah harus selalu dipatuhi. Guru harus di gugu dan ditiru. Orang tua wajib ditaati. Dalam hirarkhi sosial seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Guru dapat menyuruhnya untuk berlari telanjang atau push up sebanyak-banyaknya tanpa mendapat sanksi hukum. Orang tua dapat memukul anaknya pada waktu yang lama tanpa merasa bersalah. Selalu muncul pemahaman bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak pernah dianggap mitra sehingga dalam kondisi apapun anak harus menuruti apapun kehendak orang tua. Hirarkhi sosial ini muncul karena tranformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalunya. Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh mendebat barang sepatahpun. Orang dewasa melihat anak-anak sebagai bakal manusia dan bukan sebagai manusia yang hak asasinya tidak boleh dilanggar.
3.   Kemiskinan
Kita akan menemukan bahwa para pelaku dan juga koban kekerasan anak kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Kemiskinan, yang tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami stress yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah kekerasan emosional. Pada saat tertentu bapak bisa meradang dan membentak anak di hadapan banyak orang. Terjadi kekerasan verbal.
 
1.    Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu,memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, dan terlalubergantung kepada orang dewasa.
2.    Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu dalam jangka panjang, atau keluarga tanpa ayah.
3.    Keluarga yang belum matang secara psikologis,ketidakmampuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child ), anak lahir di luar nikah.
4.    Pengulangan sejarah kekerasan: orang tua yang dulu sering ditelantarkan atau mendapat perlakukan kekerasan sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama.
5.    Kondisi lingkungan sosial yang buruk, keterbelakangan.Namun, di luar faktor-faktor tersebut, sebenarnya kekerasan struktural menjadi problem utama kehidupan anak-anak Indonesia. Karena sifatnya struktural, terutama akibat kemiskinan.

faktor-faktor lain seperti rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, dantekanan mental, termasuk lemahnya kesadaran hukum masyarakat dan lemahnya penegak hukum memperkuat tingkat kekerasan terhadap anak.Kerapuhan ekonomi dan kehidupanyang serba kurang memberikan tekanan bagi keluarga, dan kemudian memunculkan rasafrustasi. Keadaan frustasi ini, dengan pemicu yang seringkali sederhana, mampumembangkitkan tingkah laku agresi. Objeknya adalah sesama anggota keluarga, danseringkali anak karena posisinya yang lemah.


B.     Jenis kekerasan yang sering diterima anak
1.        Penyiksaan fisik

        Segala bentuk penyiksaan fisik terjadi ketika orang tua frustrasi atau marah, kemudian melakukan tindakan-tindakan agresif secara fisik, dapat berupa cubitan, pukulan, tendangan, menyulut dengan rokok, membakar, dan tindakan - tindakan lain yang dapat membahayakan anak. Sangat sulit dibayangkan bagaimana orang tua dapat melukai anaknya. Sering kali penyiksaan fisik adalah hasil dari hukuman fisik yang bertujuan menegakkan disiplin, yang tidak sesuai dengan usia anak. Banyak orang tua ingin menjadi orang tua yang baik, tapi lepas kendali dalam mengatasi perilaku sang anak.

    Dampak kekerasan fisik

          Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif,    dan  set  elah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil.

          Penyiksaan yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, dan meninggalkan bekas baik fisik maupun psikis, anak menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan trust kepada orang lain, perilaku merusak, dll. Dan bila kejadian berulang ini terjadi maka proses recoverynya membutuhkan waktu yang lebih lama pula.



2.        Penyiksaan emosi

          Penyiksaan emosi adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan orang lain. Jika hal ini menjadi pola perilaku maka akan mengganggu proses perkembangan anak selanjutnya. Hal ini dikarenakan konsep diri anak terganggu, selanjutnya anak merasa tidak berharga untuk dicintai dan dikasihi. Anak yang terus menerus dipermalukan, dihina, diancam atau ditolak akan menimbulkan penderitaan yang tidak kalah hebatnya dari penderitaan fisik.
          Bayi yang menderita deprivasi (kekurangan) kebutuhan dasar emosional, meskipun secara fisik terpelihara dengan baik, biasanya tidak bisa bertahan hidup. Deprivasi emosional tahap awal akan menjadikan bayi tumbuh dalam kecemasan dan rasa tidak aman, dimana bayi lambat perkembangannya, atau akhirnya mempunyai rasa percaya diri yang rendah.

Jenis-jenis penyiksaan emosi adalah:
·      Penolakan
Orang tua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan, mengusir anak, atau memanggil anak dengan sebutan yang kurang menyenangkan. Kadang anak menjadi kambing hitam segala problem yang ada dalam keluarga.
·      Tidak diperhatikan
 Orang tua yang mempunyai masalah emosional biasanya tidak dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka. Orang tua jenis ini mengalami problem kelekatan dengan anak. Mereka menunjukkan sikap tidak tertarik pada anak, sukar memberi kasih sayang, atau bahkan tidak menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak orang tua yang secara fisik selalu ada disamping anak, tetapi secara emosi sama sekali tidak memenuhi kebutuhan emosional anak.
·      Ancaman
Orang tua mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak. Dalam jangka panjang keadaan ini mengakibatkan anak terlambat  perkembangannya, atau bahkan terancam kematian.
·      Isolasi
Bentuknya dapat berupa orang tua tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan bersama teman sebayanya, atau bayi dibiarkan dalam kamarnya sehingga kurang mendapat stimulasi dari lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu sampai waktu tertentu.
·      Pembiaran
Membiarkan anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol, berlaku kejam terhadap binatang, melihat tayangan porno, atau terlibat dalam tindak kejahatan seperti mencuri, berjudi, berbohong, dan sebagainya. Untuk anak yang lebih kecil, membiarkannya menonton adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di televisi termasuk juga dalam kategori penyiksaan emosi.

Dampak kekerasan emosi
                          Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri;

3.        Pelecehan seksual

        Sampai saat ini tidaklah mudah membicarakan hal ini, atau untuk menyadarkan masyarakat bahwa pelecehan seksual pada setiap usia – termasuk bayi - mempunyai angka yang sangat tinggi. Bahkan Hopper (2004) mengemukakan bahwa hal ini terjadi setiap hari di Amerika Serikat.
         Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya.
Semua tindakan yang melibatkan anak dalam kesenangan seksual masuk dalam kategori ini:
·           Pelecehan seksual tanpa sentuhan. Termasuk di dalamnya jika anak melihat pornografi, atau exhibitionisme, dsb.
·           Pelecehan seksual dengan sentuhan. Semua tindakan anak menyentuh organ seksual orang dewasa termasuk dalam kategori ini. Atau adanya penetrasi ke dalam vagina atau anak dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan medis.
·           Eksploitasi seksual. Meliputi semua tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi, atau menggunakan anak sebagai model foto atau film porno. Ada beberapa indikasi yang patut kita perhatikan berkaitan dengan pelecehan seksual yang mungkin menimpa anak seperti keluhan sakit atau gatal pada vagina anak, kesulitan duduk atau berjalan, atau menunjukkan gejala kelainan seksual.
                 Dampak kekerasan seksual
Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);

4.   Pengabaian anak

          Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Pengabaian anak banyak dilaporkan sebagai kasus terbesar dalam kasus penganiayaan terhadap anak dalam keluarga.

Jenis-jenis pengabaian anak:
·      Pengabaian fisik merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
·      Pengabaian pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun.
·      Pengabaian secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ´ribut´ dengan pasangannya. Atau orang tua memberikan perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anakanaknya.
·      Pengabaian fasilitas medis. Hal ini terjadi ketika orang tua gagal menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orang tua memberi pengobatan tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali ke layanan dokter.
Efek pengabaian anak

          Pengaruh yang paling terlihat adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Bayi yang dipisahkan dari orang tuanya dan tidak memperoleh pengganti pengasuh yang memadai, akan mengembangkan perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab (Hurlock, 1990), dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

C.            Undang-Undang tentang Kekerasan terhadap Anak

Kasus kekerasan terhadap anak cenderung meningkat, meski pemerintah mengeluarkan beberpa UU yang mengaturnya. Untuk menangani kekerasan terhadap anak, pemerintah juga perlu membentuk tim penanggulangan kasus tersebut seperti yang diterapkan di Malaysia. Tim itu terdiri atas wakil dari unsur rumah sakit, tenaga perlindungan anak dari Departemen Sosial, kepolisian, ahli hukum, perwakilan sekolah dan pengelola data.  Dr. Irwanto mengakui, saat ini ada beberapa undang-undang (UU) terkait perlindungan terhadap anak yakni UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU tentang Perlindungan Korban dan Sanksi, serta UU tentang Narkotika. Tapi semua UU tidak lengkap dan tidak harmonis satu sama lain. Banyak definisi yang bertentangan. Bahkan ada beberapa pasal didalamnya yang merugikan anak dan belum dicabut, misalnya tentang usia tanggung jawab kriminal anak. Untuk itu, kata Dr. Irwanto, selain menyempurnakan peraturan perundangan yang ada pemerintah dan pihak terkait juga harus menyiapakan mekanisme intervensi nasional untuk mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap anak. Penerapan mekanisme intervenesi nasional itu harus didukung oleh lembaga lintas sektor  dan profesi serta sepenuhnya dibiayai oleh negara. Diberlakukannya UU No.  23/2002 tentang perlindungan anak seolah menjadi antilimaks dari aktivis perlindungan anak. Padahal UU ini saja tidak cukup untuk menurunkan tingkat kejadian kekerasan terhadap anak . UU ini juga belum dapat diharapkan untuk mempunyai efek deteran karena belum banyak dikenal oleh aparat maupaum masyarakat.
Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak akan terus berlanjut dan jumlah kejadiannya tidak akan menurun kerena sikon hidup saat ini sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalm rumah tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling lemah dalam keluarga itu. Anak adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan dan anak-anak merupakan masalah yang sulit di atasi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa anggota keluarga itu milik laki-laki dan masalah kekerasan di dalam rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sebetulnya Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-Undang No. 7/1984, Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak serta Undang-Undang No. 29 tahun 1999. Sering pejabat terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak yang kurang memahami sehingga setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak atau Hak Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH Pidana. Oleh karena itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No. 23 Tahun 2004 tanggal 22 September 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat melaksanaan hak dan kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan dalam membangun keutuhan rumah tangga. Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian.

D.           Solusi Pemecahan Masalah 
Kekerasan terhadap anak yang mulai menjangkiti masyarakat ini sudah selayaknya jika mendapat penanganan yang lebih baik dan serius dari pihakpihak yang terkait baik itu pemerintah maupun masyarakat. Alternatif saran untuk memecahkan masalah kekerasan terhadap anak yang sudah mulai kronis ini, yaitu ; 
1.        Sosialisasi yang lebih gencar lagi dari pemerintah tentang pentingnya
untuk segera melaporkan apabila terjadi tindak kekerasan. Hal ini mungkin tidak dilakukan oleh korban sendiri yang notabene masih anak-anak tapi bisa dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya, baik yang memiliki hubungan darah maupun orang lain di sekitarnya. Jadi bagaimana pemerintah mengemas publikasi untuk penanganan korban kekerasan sesegera mungkin dan pemerintah juga harus lebih memudahkan prosedur bantuannya.
2.        Hendaknya lembaga-lembaga baik pemerintahan maupun LSM atau
organisasi yang bergerak di bidang penanganan korban kekerasan ini memperhatikan aspek psikologis pelaku maupun korban ketika proses menjalani bantuan pemecahan masalah agar tidak semakin membebani
3.        Hendaknya mulai ditanamkan kesadaran di masyarakat bahwa anak
bukanlah milik orang tua atau kerabat saja yang bisa diperlakukan sesukanya tapi sebagai suatu tanggung jawab yang harus dijaga dan dilindungi
4.        Terjadinya kerjasama semua pihak, semua pihak mulai berempati dan 
menunjukkan kepeduliannya terhadap anak berupa perlindungan dan peningkatan kesejahteraan.
5.        Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.      kesimpulan

                   Upaya  penanggulangan kekerasan terhadap anak jelas menjadi kewajiban pemerintah,yang didukung oleh keluarga dan masyarakat. Masyarakat Indonesia modern ternyatabelum sadar bahwa anak memiliki hak penuh untuk diperlakukan secara manusiawi.Anak harus mendapatkan jaminan keberlangsungan hidup dan perkembangannya dibawah naungan ketetapan hukum yang pasti, yang harus dijalankan semua pihak, baik keluarga masyarakat maupun pemerintah (negara). Sehingga anak bisa tumbuh danberkembang dengan baik serta jauh dari berbagai tindak kekerasan. Kita menyadaribahwa kekerasan telah meremukkan kekayaan imajinasi, keriangan hati, kreatifitas,bahkan masa depan anak-anak kita.

B.               Saran

                   Segala bentuk kekerasan terhadap anak merupakan suatu tindakan yang amat sangat di sayangkan, karena dapat mengganggu perkembangan anak baik fisik maupun psikis, oleh karena itu untuk dapat mengantisipasi adanya tindakan kekerasan tersebut sangatlah penting adanya sosialisasi terhadap masyarakat, utamanya para orang tua agar dalam mendidik anak tidak disertai adanya suatu tindakan yang dapat menghambat tumbuh kembang buah hati.
Pemberian sanksi hukum untuk oknum pelaku tindak kekerasan juga sangat mempengaruhi, karena akan sedikit banyak akan membuat efek jera bagi para pelaku. Sebenarnya kekerasan yang di terima anak sangatlah banyak, namun banyak pula yang tidak mendapat perlindungan dalam segi hukum dan kenyamanan bagi korban, semua itu tentunya disebabkan adanya ketakutan dari korban untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang, untuk itu peran serta masyarakat untuk bersama-sama memberikan perlindungan kepada korban dengan melaporkan setiap bentuk kekerasan kepada pihak yang berwenang akan sanangat meminimalisirkan bentuk kekerasan itu sendiri.



0 komentar:

Posting Komentar