MANUSIA, BERFIKIR DAN PENGETAHUAN
Tanpa saudara kandungnya Pengetahuan, Akal (Instrumen
berfikir Manusia) bagaikan si miskin yang tak berumah, sedangkan Pengetahuan
tanpa akal seperti rumah yang tak terjaga. Bahkan, Cinta, Keadilan,
dan Kebaikan akan terbatas kegunaannya jika akal tak hadir (Kahlil Gibran)
Pengetahuan merupakan suatu kekayaan dan
kesempurnaan. ..Seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik kalau
dibanding dengan yang tidak tahu apa-apa (Louis Leahy)
Mengetahui merupakan kegiatan yang menjadikan subjek berkomunikasi Secara
dinamik dengan eksistensi dan kodrat dari “ada” benda-benda (Sartre)
A.
MAKNA MENJADI MANUSIA
Kemampuan manusia
untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang
memungkinkan manusia Berfikir, dengan Berfikir manusia menjadi mampu melakukan
perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia
merupakan akibat dari aktivitas Berfikir, oleh karena itu sangat wajar apabila
Berfikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai kedudukan
manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan manusia pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan
pernah ada.
Berfikir juga memberi
kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya
pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berfikir yang lebih
mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian ALLAH mengajarkan nama-nama, pada
dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (Manusia) merupakan Makhluk yang bisa
Berfikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam dapat melanjutkan
kehidupannya di Dunia. Dalam konteks yang lebih luas, perintah Iqra (bacalah) yang tertuang dalam Al
Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan Tuhan pada Manusia untuk
berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun
(berfikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini
dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia
berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan. semua ini pendasarannya
adalah penggunaan akal melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir manusia mampu
mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi
makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan,
dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta
mengaplikasikannya manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah
kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam
berbagai bidang kehidupan manusia (sudut pandang positif/normatif).
Dengan demikian
kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna
pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan
kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding
makhluk lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di
muka bumi, bahkan dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan
menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya.
Pernyataan di atas
pada dasarnya menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik
eksistensial manusia sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian
dari Alam ini. Dalam konteks perbandingan dengan bagian-bagian alam lainnya,
para akhli telah banyak mengkaji perbedaan antara manusia dengan
makhluk-makhluk lainnya terutama dengan makhluk yang agak dekat dengan manusia
yaitu hewan. Secara umum komparasi manusia dengan hewan dapat dilihat dari
sudut pandang Naturalis/biologis dan sudut pandang sosiopsikologis. Secara
biologis pada dasarnya manusia tidak banyak berbeda dengan hewan, bahkan Ernst Haeckel (1834 – 1919) mengemukakan
bahwa manusia dalam segala hal sungguh-sungguh adalah binatang beruas tulang
belakang, yakni binatang menyusui, demimikian juga Lamettrie (1709 – 1751) menyatakan bahwa tidaklah terdapat
perbedaan antara binatang dan manusia dan karenanya bahwa manusia itu adalah
suatu mesin.
Kalau manusia itu
sama dengan hewan, tapi kenapa manusia bisa bermasyarakat dan berperadaban yang
tidak bisa dilakukan oleh hewan ?, pertanyaan ini telah melahirkan berbagai
pemaknaan tentang manusia, seperti manusia adalah makhluk yang bermasyarakat
(Sosiologis), manusia adalah makhluk yang berbudaya (Antropologis), manusia
adalah hewan yang ketawa, sadar diri, dan merasa malu (Psikologis), semua itu
kalau dicermati tidak lain karena manusia adalah hewan yang berfikir/bernalar (the animal that reason) atau Homo Sapien.
Dengan memahami
uraian di atas, nampak bahwa ada sudut pandang yang cenderung merendahkan
manusia, dan ada yang mengagungkannya, semua sudut pandang tersebut memang
diperlukan untuk menjaga keseimbangan memaknai manusia. Blaise Pascal (1623 – 1662) menyatakan bahwa adalah berbahaya bila
kita menunjukan manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat binatang
dengan tidak menunjukan kebesaran manusia sebagai manusia. Sebaliknya adalah
bahaya untuk menunjukan manusia sebagai makhluk yang besar dengan tidak
menunjukan kerendahan, dan lebih berbahaya lagi bila kita tidak menunjukan
sudut kebesaran dan kelemahannya sama sekali (Rasjidi. 1970 : 8). Guna memahami
lebih jauh siapa itu manusia, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi
yang dikemukakan oleh para akhli :
·
Plato
(427 – 348). Dalam pandangan Plato manusia dilihat secara dualistik yaitu unsur
jasad dan unsur jiwa, jasad akan musnah sedangkan jiwa tidak, jiwa mempunyai
tiga fungsi (kekuatan) yaitu logystikon (berfikir/rasional, thymoeides (Keberanian), dan epithymetikon (Keinginan)
·
Aristoteles (384 – 322 SM). Manusia itu
adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara
berdasarkan akal fikirannya. Manusia itu adalah hewan yang berpolitik (Zoon
Politicon/Political Animal), hewan yang membangun masyarakat di atas
famili-famili menjadi pengelompokan impersonal dari pada kampung dan negara.
·
Ibnu Sina (980 -1037 M). manusia adalah makhluk yang mempunyai kesanggupan : 1)
makan, 2) tumbuh, 3) ber-kembang biak, 4) pengamatan hal-hal yang istimewa, 5)
pergerakan di bawah kekuasaan, 6) ketahuan (pengetahuan tentang) hal-hal yang
umum, dan 7) kehendak bebas. Menurut dia, tumbuhan hanya mempunyai kesanggupan
1, 2, dan 3, serta hewan mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5.
·
Ibnu Khaldun (1332 – 1406). Manusia adalah hewan dengan kesanggupan berpikir, kesanggupan
ini merupakan sumber dari kesempurnaan dan puncak dari segala kemulyaan dan
ketinggian di atas makhluk-makhluk lain.
·
Ibnu Miskawaih. Menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai
kekuatan-kekuatan yaitu : 1) Al Quwwatul Aqliyah (kekuatan berfikir/akal), 2) Al
Quwwatul Godhbiyyah (Marah, 3) Al Quwwatu Syahwiyah (sahwat).
·
Harold H. Titus menyatakan : Man is an animal organism, it is true but he
is able to study himself as organism and to compare and interpret living forms
and to inquire about the meaning of human existence. Selanjutnya Dia
menyebutkan beberapa faktor yang berkaitan (menjadi
karakteristik – pen) dengan manusia sebagai pribadi yaitu :
i.
Self conscioueness
ii.
Reflective thinking, abstract thought, or the power
of generalization
iii.
Ethical discrimination and the power of choice
iv.
Aesthetic appreciation
v.
Worship and faith in a higher power
vi.
Creativity of a new order
·
William E. Hocking menyatakan : Man can be defined
as the animal who thinks in term of totalities.
·
C.E.M. Joad. Menyatakan : every thing and
every creature in the world except man acts as it must, or act as it pleased,
man alone act on occasion as he ought
·
R.F. Beerling. Menyatakan bahwa manusia itu tukang bertanya.
Dari uraian dan berbagai
definisi tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa kesimpulan tentang siapa
itu manusia yaitu :
1. Secara fisikal, manusia
sejenis hewan juga
2.
Manusia punya kemampuan untuk bertanya
3.
Manusia punya kemampuan untuk berpengetahuan
4.
Manusia punya kemauan bebas
5.
Manusia bisa berprilaku sesuai norma
(bermoral)
6.
Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat dan berbudaya
7.
Manusia punya kemampuan berfikir reflektif dalam totalitas dengan sadar
diri
8.
Manusia adalah makhluk yang punya kemampuan untuk percaya pada Tuhan
apabila dibagankan dengan mengacu pada pendapat di
atas akan nampak sebagai berikut :
|
MANUSIA
|
|
HEWANI/BASARI
|
|
INSANI/MANUSIAWI
|
JASAD/FISIK/BIOLOGIS
|
|
JIWA/AKAL/RUHANI
|
MAKAN
|
|
BERFIKIR
|
MINUM
|
|
BERPENGETAHUAN
|
TUMBUH
|
|
BERMASYARAKAT
|
BERKEMBANGBIAK
|
|
BERBUDAYA/BERETIKA/
BERTUHAN
|
Gambar 1.1. Dimensi-dimensi
manusia
Dengan demikian
nampaknya terdapat perbedaan sekaligus persamaan antara manusia dengan makhluk lain khususnya hewan,
secara fisikal/biologis perbedaan manusia dengan hewan lebih bersifat gradual
dan tidak prinsipil, sedangkan dalam aspek kemampuan berfikir, bermasyarakat
dan berbudaya, serta bertuhan perbedaannya sangat asasi/prinsipil, ini berarti
jika manusia dalam kehidupannya hanya bekutat dalam urusan-urusan fisik
biologis seperti makan, minum, beristirahat, maka kedudukannya tidaklah jauh
berbeda dengan hewan, satu-satunya yang bisa mengangkat manusia lebih tinggi
adalah penggunaan akal untuk berfikir dan berpengetahuan serta mengaplikasikan
pengetahuannya bagi kepentingan kehidupan sehingga berkembanglah masyarakat
beradab dan berbudaya, disamping itu kemampuan tersebut telah mendorong manusia
untuk berfikir tentang sesuatu yang melebihi pengalamannya seperti keyakinan
pada Tuhan yang merupakan inti dari seluruh ajaran Agama. Oleh karena itu
carilah ilmu dan berfikirlah terus agar posisi kita sebagai manusia menjadi
semakin jauh dari posisi hewan dalam konstelasi kehidupan di alam ini. Meskipun
demikian penggambaran di atas harus dipandang sebagai suatu pendekatan saja
dalam memberi makna manusia, sebab manusia itu sendiri merupakan makhluk yang
sangat multi dimensi, sehingga gambaran yang seutuhnya akan terus menjadi
perhatian dan kajian yang menarik, untuk itu tidak berlebihan apabila Louis Leahy berpendapat bahwa manusia
itu sebagai makhluk paradoksal dan sebuah
misteri, hal ini menunjukan betapa kompleks nya memaknai manusia dengan seluruh
dimensinya.
B.
MAKNA BERFIKIR
Semua karakteristik
manusia yang menggambargakan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan
akibat dari anugrah akal yang
dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun
memberikan tugas kekhalifahan (yang terbingkai dalam perintah dan larangan) di
muka bumi pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir,
berpengetahuan, serta membuat keputusan untuk melakukan dan atau tidak
melakukan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai
pertanggungjawaban.
Sutan Takdir Alisjahbana. Menyatakan bahwa pikiran memberi manusia pengetahuan yang dapat
dipakainya sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang
menjadi pendorong perbuatan mereka. Oleh karena itu berfikir merupakan atribut
penting yang menjadikan manusia sebagai manusia, berfikir adalah fondasi dan
kemauan adalah pendorongnya.
Kalau berfikir
(penggunaan kekuatan akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan
manusia dengan hewan, sekarang apa yang dimaksud berfikir, apakah setiap
penggunaan akal dapat dikategorikan berfikir, ataukah penggunaan akal dengan
cara tertentu saja yang disebut berfikir. Para
akhli telah mencoba mendefinisikan makna berfikir dengan rumusannya
sendiri-sendiri, namun yang jelas tanpa akal nampaknya kegiatan berfikir tidak
mungkin dapat dilakukan, demikian juga pemilikan akal secara fisikal tidak
serta merta mengindikasikan kegiata berfikir.
Menurut J.M. Bochenski berfikir adalah perkembangan
ide dan konsep, definisi ini nampak sangat sederhana namun substansinya cukup
mendalam, berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan kegiatan mental,
bila seseorang secara mental sedang mengikatkan
diri dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang
tersebut bisa dikatakan sedang berfikir. Jika demikian berarti bahwa berfikir
merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya mengikatkan diri dengan
sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu ada dalam diri (gambaran
mental) seseorang, dan jika itu terjadi tahulah dia, ini berarti bahwa dengan berfikir
manusia akan mampu memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu manusia
menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta
mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya.
Sementara itu Partap Sing Mehra memberikan definisi
berfikir (pemikiran) yaitu mencari sesuatu yang belum diketahui berdasarkan
sesuatu yang sudah diketahui. Definisi ini mengindikasikan bahwa suatu kegiatan
berfikir baru mungkin terjadi jika akal/pikiran seseorang telah mengetahui
sesuatu, kemudian sesuatu itu dipergunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain,
sesuatu yang diketahui itu bisa merupakan data, konsep atau sebuah idea, dan
hal ini kemudian berkembang atau dikembangkan sehingga diperoleh suatu yang
kemudian diketahui atau bisa juga disebut kesimpulan. Dengan demikian kedua
definisi yang dikemukakan akhli tersebut pada dasarnya bersifat saling
melengkapi. Berfikir merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan dengan
pengetahuan tersebut proses berfikir dapat terus berlanjut guna memperoleh
pengetahuan yang baru, dan proses itu tidak berhenti selama upaya pencarian
pengetahuan terus dilakukan.
Menurut Jujus S Suriasumantri Berfikir merupakan
suatu proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian
gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai
pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dengan demikian berfikir
mempunyai gradasi yang berbeda dari berfikir sederhana sampai berfikir yang
sulit, dari berfikir hanya untuk mengikatkan subjek dan objek sampai dengan
berfikir yang menuntut kesimpulan berdasarkan ikatan tersebut. Sementara itu Partap Sing Mehra menyatakan bahwa
proses berfikir mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu :
·
Conception (pembentukan gagasan)
·
Judgement (menentukan sesuatu)
·
Reasoning (Pertimbangan pemikiran/penalaran)
bila seseorang mengatakan bahwa dia sedang berfikir
tentang sesuatu, ini mungkin berarti bahwa dia sedang membentuk gagasan umum
tentang sesuatu, atau sedang menentukan sesuatu, atau sedang mempertimbangkan
(mencari argumentasi) berkaitan dengan sesuatu tersebut.
Cakupan
proses berfikir sebagaimana disebutkan di atas menggambarkan bentuk substansi
pencapaian kesimpulan, dalam setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan)
berfikir tertentu sesuai dengan substansinya. Menurut John Dewey proses berfikir mempuyai urutan-urutan (proses) sebagai
berikut :
·
Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit
mengenai sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba.
·
Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan.
·
Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa,
inferensi atau teori.
·
Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan
implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data).
·
Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik
melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
Sementara
itu Kelly mengemukakan bahwa proses berfikir
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
·
Timbul rasa sulit
·
Rasa sulit tersebut didefinisikan
·
Mencari suatu pemecahan sementara
·
Menambah keterangan terhadap pemecahan tadi yang menuju kepada
kepercayaan bahwa pemecahan tersebut adalah benar.
·
Melakukan pemecahan lebih lanjut dengan verifikasi eksperimental
·
Mengadakan penelitian terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju
pemecahan secara mental untuk diterima atau ditolak sehingga kembali
menimbulkan rasa sulit.
·
Memberikan suatu pandangan ke depan atau gambaran mental tentang situasi yang akan datang untuk dapat
menggunakan pemecahan tersebut secara tepat.
Urutan langkah (proses) berfikir seperti tersebut
di atas lebih menggambarkan suatu cara berfikir
ilmiah, yang pada dasarnya merupakan gradasi tertentu disamping berfikir biasa yang sederhana serta berfikir radikal filosofis, namun urutan
tersebut dapat membantu bagaimana seseorang berfikir dengan cara yang benar,
baik untuk hal-hal yang sederhana dan konkrit maupun hal-hal yang rumit dan
abstrak, dan semua ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang
yang berfikir tersebut.
C. MAKNA PENGETAHUAN
Berfikir mensyaratkan adanya pengetahuan (Knowledge) atau sesuatu yang diketahui
agar pencapaian pengetahuan baru lainnya dapat berproses dengan benar, sekarang
apa yang dimaksud dengan pengetahuan ?, menurut Langeveld pengetahuan ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan
objek yang diketahui, di tempat lain dia mengemukakan bahwa pengetahuan
merupakan kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui, suatu
kesatuan dalam mana objek itu dipandang oleh subjek sebagai dikenalinya. Dengan
demikian pengetahuan selalu berkaitan dengan objek yang diketahui, sedangkan Feibleman menyebutnya hubungan subjek
dan objek (Knowledge : relation between
object and subject). Subjek adalah individu yang punya kemampuan mengetahui
(berakal) dan objek adalah benda-benda atau hal-hal yang ingin diketahui.
Individu (manusia) merupakan suatu realitas dan benda-benda merupakan realitas
yang lain, hubungan keduanya merupakan proses untuk mengetahui dan bila bersatu
jadilah pengetahuan bagi manusia. Di sini terlihat bahwa subjek mesti
berpartisipasi aktif dalam proses penyatuan sedang objek pun harus
berpartisipasi dalam keadaannya, subjek merupakan suatu realitas demikian juga
objek, ke dua realitas ini berproses dalam suatu interaksi partisipatif, tanpa
semua ini mustahil pengetahuan terjadi, hal ini sejalan dengan pendapat Max Scheler yang menyatakan bahwa pengetahuan
sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang lain, tetapi
tanpa modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu. Sebaliknya subjek yang mengetahui itu
dipengaruhi oleh objek yang diketahuinya.
Pengetahuan pada
hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek tertentu,
termasuk ke dalamnya ilmu (Jujun S
Suriasumantri,), Pengetahuan tentang objek selalu melibatkan dua unsur
yakni unsur representasi tetap dan tak terlukiskan serta unsur penapsiran
konsep yang menunjukan respon pemikiran. Unsur konsep disebut unsur formal
sedang unsur tetap adalah unsur material atau isi (Maurice Mandelbaum). Interaksi antara objek dengan subjek yang
menafsirkan, menjadikan pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas,
terarah dan sistimatis sehingga dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi. Pengetahuan tumbuh sejalan
dengan bertambahnya pengalaman, untuk itu diperlukan informasi yang
bermakna guna menggali pemikiran untuk menghadapi realitas dunia dimana seorang
itu hidup (Harold H Titus).
D. BERFIKIR DAN PENGETAHUAN
Berfikir
dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa
pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih
lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan
pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal, bila digambarkan nampak
sebagai berikut :
Gambar 1.2. Hubungan berfikir dengan pengetahuan
Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan
terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin
banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir,
demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi
pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit, namun
semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam
suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping
itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka
ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal
dan mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat, oleh karena itu berfikir dan
pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam :
·
Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan
eksistensial)
·
Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan
pengetahuan ilmiah (ilmu)
·
Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan
filosofis (filsafat)
Semua jenis berfikir dan pengetahuan tersebut di
atas mempunyai poisisi dan manfaatnya masing-masing, perbedaan hanyalah
bersifat gradual, sebab semuanya tetap merupakan sifat yang inheren dengan
manusia. Sifat inheren berfikir dan berpengetahuan pada manusia telah menjadi
pendorong bagi upaya-upaya untuk lebih memahami kaidah-kaidah berfikir benar
(logika), dan semua ini makin memerlukan keakhlian, sehingga makin rumit
tingkatan berfikir dan pengetahuan makin sedikit yang mempunyai kemampuan
tersebut, namun serendah apapun gradasi berpikir dan berpengetahuan yang dimiliki seseorang tetap saja mereka bisa
menggunakan akalnya untuk berfikir untuk memperoleh pengetahuan, terutama dalam
menghadapi masalah-masalah kehidupan, sehingga manusia dapat mempertahankan
hidupnya (pengetahuan macam ini disebut pengetahuan eksistensial). Gradasi
berfikir dan berpengetahuan sebagai dikemukakan terdahulu dapan dibagankan
sebagai berikut :
Berfikir/
Pengetahuan
Filosofis
(Common Sense)
Gambar 1.3. Hirarki
gradasi berfikir
Berpengetahuan
merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk
itu dalam diri manusia telah terdapat akal yang dapat dipergunakan berfikir
untuk lebih mendalami dan memperluas pengetahuan. Paling tidak terdapat dua
alasan mengapa manusia memerlukan pengetahuan/ilmu yaitu :
1.
manusia tidak bisa hidup dalam alam yang belum terolah, sementara
binatang siap hidup di alam asli dengan berbagai kemampuan bawaannya.
2.
manusia merupakan makhluk yang selalu bertanya baik implisit maupun
eksplisit dan kemampuan berfikir serta pengetahuan merupakan sarana untuk
menjawabnya.
Dengan demikian berfikir dan pengetahuan bagi
manusia merupakan instrumen penting untuk mengatasi berbagai persoalah yang
dihadapi dalam hidupnya di dunia, tanpa itu mungkin yang akan terlihat hanya
kemusnahan manusia (meski kenyataan
menunjukan bahwa dengan berfikir dan pengetahuan manusia lebih mampu membuat
kerusakan dan memusnahkan diri sendiri lebih cepat)
0 komentar:
Posting Komentar