Minggu, 03 Maret 2013

filsafat


B A B   2
F I L S A F A T
Aku tidak boleh mengatakan bahwa mereka bijaksana, sebabkebijaksanaan adalah sesuatu yang luhur, dan hanya dimiliki oleh Tuhan sendiri. Sebutan yang bersahaja, yaitu yang selayaknya diberikan kepada mereka adalah pencinta kebijaksanaan atau akhli Filsafat (Socrates dalam Phaedrus karya Plato)



A.    PENGERTIAN FILSAFAT
Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani dari kata “philo” berarti cinta dan” sophia” yang berarti kebenaran, sementara itu menurut I.R. Pudjawijatna (1963 : 1) “Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu . Sofia artinya kebijaksanaan , bijaksana artinya pandai, mengerti dengan mendalam, jadi menurut namanya saja  Filsafat boleh dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam  atau cinta dengan kebijaksanaan.
Kecintaan pada kebijaksanaan haruslah dipandang sebagai suatu bentuk proses, artinya segala upaya pemikiran untuk selalu mencari hal-hal yang bijaksana, bijaksana di dalamnya mengandung dua makna yaitu baik dan benar, baik adalah sesuatu yang berdimensi etika, sedangkan benar adalah sesuatu yang berdimensi rasional, jadi sesuatu yang bijaksana adalah sesuatu yang etis dan logis. Dengan demikian berfilsafat berarti selalu berusaha untuk berfikir guna mencapai kebaikan dan kebenaran, berfikir dalam filsafat bukan sembarang berfikir namun berpikir secara radikal sampai ke akar-akarnya, oleh karena itu meskipun berfilsafat mengandung kegiatan berfikir, tapi tidak setiap kegiatan berfikir berarti filsafat atau berfilsafat. Sutan Takdir Alisjahbana (1981) menyatakan bahwa pekerjaan berfilsafat itu ialah berfikir, dan hanya manusia yang telah tiba di tingkat berfikir, yang berfilsafat. Guna lebih memahami mengenai makna filsafat berikut ini akan dikemukakan definisi filsafat yang dikemukakan oleh para akhli :

 
1.      Plato salah seorang murid Socrates yang hidup antara 427 – 347 Sebelum Masehi mengartikan filsafat  sebagai pengetahuan tentang segala yang ada, serta pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
2.      Aristoteles (382 – 322 S.M) murid Plato, mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Dia juga berpendapat bahwa filsafat itu menyelidiki sebab dan asas segala benda.
3.      Cicero (106 – 43 S.M). filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha mencapai hal tersebut.
4.      Al Farabi (870 – 950 M). seorang Filsuf Muslim mendefinidikan Filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud, bagaimana hakikatnya yang sebenarnya.
5.      Immanuel Kant (1724 – 1804). Mendefinisikan Filsafat sebagai ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan yaitu : 
a.      Metafisika (apa yang dapat kita ketahui).
b.      Etika (apa yang boleh kita kerjakan).
c.       Agama ( sampai dimanakah pengharapan kita)
d.      Antropologi (apakah yang dinamakan manusia).
6.     

 
 H.C Webb dalam bukunya History of Philosophy menyatakan bahwa filsafat mengandung pengertian penyelidikan. Tidak hanya penyelidikan hal-hal yang khusus dan tertentu saja, bahkan lebih-lebih mengenai sifat – hakekat baik dari dunia kita, maupun dari cara hidup yang seharusnya kita selenggarakan di dunia ini.
7.      Harold H. Titus dalam bukunya Living Issues in Philosophy mengemukakan beberapa pengertian filsafat yaitu :
a.      Philosophy is an attitude toward life and universe (Filsafat adalah sikap terhadap kehidupan dan alam semesta).
b.      Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inquiry (Filsafat adalah suatu metode berfikir reflektif dan pengkajian secara rasional)
c.       Philosophy is a group of problems (Filsafat adalah sekelompok masalah)
d.      Philosophy is a group of systems of thought (Filsafat adalah serangkaian sistem berfikir)

Dari beberapa pengertian di atas nampak bahwa ada akhli yang menekankan pada subtansi dari apa yang difikirkan dalam berfilsafat seperti pendapat Plato dan pendapat Al Farabi, Aristoteles lebih menekankan pada cakupan apa yang difikirkan dalam filsafat demikian juga Kant setelah menyebutkan sifat filsafatnya itu sendiri sebagai ilmu pokok, sementara itu Cicero disamping menekankan pada substansi juga pada upaya-upaya pencapaiannya. Demikian juga H.C. Webb melihat filsafat sebagai upaya penyelidikan tentang substansi yang baik sebagai suatu keharusan dalam hidup di dunia. Definisi yang nampaknya lebih menyeluruh adalah yang dikemukakan oleh Titus, yang menekankan pada dimensi-dimensi filsafat dari mulai sikap, metode berfikir, substansi masalah, serta sistem berfikir.
Meskipun demikian, bila diperhatikan secara seksama, nampak pengertian-pengertian tersebut lebih bersifat saling melengkapi, sehingga dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti penyeledikan tentang Apanya, Bagaimananya, dan untuk apanya, dalam konteks ciri-ciri berfikir filsafat, yang bila dikaitkan dengan terminologi filsafat tercakup dalam ontologi (apanya), epistemologi (bagaimananya), dan axiologi (untuk apanya)
B.     CIRI-CIRI FILSAFAT
Bila dilihat dari aktivitasnya filsafat merupakan suatu cara berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu. Menurut  Sutan Takdir Alisjahbana syarat-syarat berfikir yang disebut berfilsafat yaitu : a) Berfikir dengan teliti, dan  b) Berfikir menurut aturan yang pasti. Dua ciri tersebut menandakan berfikir yang insaf, dan berfikir yang demikianlah yang disebut berfilsafat. Sementara itu Sidi Gazalba (1976) menyatakan bahwa ciri ber-Filsafat atau berfikir Filsafat adalah : radikal, sistematik, dan universal. Radikal bermakna berfikir sampai ke akar-akarnya (Radix artinya akar), tidak tanggung-tanggung sampai dengan berbagai konsekwensinya dengan tidak terbelenggu oleh berbagai pemikiran yang sudah diterima umum, Sistematik artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan, Universal artinya berfikir secara menyeluruh tidak pada bagian-bagian khusus yang sifatnya terbatas.
            Sementara itu Sudarto (1996) menyatakan bahwa  ciri-ciri berfikir Filsafat adalah :
a.       Metodis : menggunakan metode, cara, yang lazim digunakan oleh filsuf (akhli filsafat) dalam proses berfikir
b.      Sistematis : berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis.
c.       Koheren : diantara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang bertentangan dan tersusun secara logis
d.      Rasional : mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah logika)
e.       Komprehensif : berfikir tentang sesuatu dari berbagai sudut (multidimensi).
f.       Radikal : berfikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai pada tingkatan esensi yang sedalam-dalamnya
g.      Universal : muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan manusia secara keseluruhan
Dengan demikian berfilsafat atau berfikir filsafat bukanlah sembarang berfikir tapi berfikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam. Pada dasarnya manusia adalah homo sapien, hal ini tidak serta merta semua manusia menjadi Filsuf, sebab berfikir filsafat memerlukan latihan dan pembiasaan yang terus menerus dalam kegiatan berfikir sehingga setiap masalah/substansi mendapat pencermatan yang mendalam untuk mencapai kebenaran jawaban dengan cara yang benar sebagai manifestasi kecintaan pada kebenaran.
C.    OBJEK FILSAFAT
Pada dasarnya filsafat atau berfilsafat bukanlah sesuatu yang asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari, karena segala sesuatu yang ada dan yang mungkin serta dapat difikirkan bisa menjadi objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran. Louis Kattsoff menyebutkan bahwa lapangan kerja filsafat itu bukan main luasnya yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia, Langeveld (1955) menyatakan bahwa filsafat itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan serwa sekalian secara radikal dan menurut sistem, sementara itu Mulder (1966) menjelaskan bahwa tiap-tiap manusia yang mulai berfikir tentang diri sendiri dan tentang tempat-tempatnya dalam dunia akan menghadapi beberapa persoalan  yang begitu penting, sehingga persoalan-persoalan itu boleh diberi nama persoalan-persoalan pokok yaitu : 1) Adakah Allah dan   siapakan  Allah   itu ?, 2) apa  dan    siapakah   manusia ?, dan 3) Apakah hakekat dari segala realitas, apakah maknanya, dan apakah intisarinya ?. Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions of Philosophy (1962) menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara tersirat menunjukan objek filsafat)  ialah : Truth (kebenaran), Matter (materi), Mind (pikiran), The Relation of matter and mind (hubungan antara materi dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause (sebab-sebab), Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism (serba tunggal lawan serba jamak), dan God (Tuhan)
 Pendapat-pendapat tersebut di atas menggambarkan betapa luas dan mencakupnya objek filsafat baik dilihat dari substansi masalah maupun sudut pandang nya terhadap masalah, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek filsafat adalah segala sesuatu yang maujud dalam sudut pandang dan kajian yang mendalam (radikal). Secara lebih sistematis para akhli membagi objek filsafat ke dalam objek material dan obyek formal. Obyek material adalah objek yang  secara wujudnya dapat dijadikan bahan telaahan dalam berfikir, sedangkan obyek formal adalah objek yang menyangkut sudut pandang dalam melihat obyek material tertentu.
Menurut Endang Saefudin Anshori (1981) objek material filsafat adalah sarwa yang ada (segala sesuatu yang berwujud), yang pada garis besarnya  dapat dibagi  atas tiga persoalan pokok yaitu : 1). Hakekat Tuhan; 2). Hakekat Alam; dan 3). Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian objek material filsafat mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang dapat difikirkan oleh manusia, sedangkan objek formal filsafat menggambarkan tentang cara dan sifat berfikir terhadap objek material tersebut, dengan kata lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang yang digunakan dalam memikirkan objek material filsafat.
D.    SISTIMATIKA FILSAFAT
adapun Bidang-bidang kajian/sistimatika filsafat antara lain adalah :
1.         Ontologi. Bidang filsafat yang meneliti hakikat wujud/ada (on = being/ada; logos = pemikiran/ ilmu/teori).
2.         Epistemologi. Filsafat yang menyelidiki tentang sumber, syarat serta proses terjadinya pengetahuan (episteme = pengetahuan/knowledge; logos = ilmu/teori/pemikiran) 
3.         Axiologi. Bidang filsafat yang menelaah tentang hakikat nilai-nilai (axios = value; logos = teori/ilmu/pemikiran)
Sementara itu menurut Gahral Adian, Pendekatan filsafat melalui   sistimatika  dapat   dilakukan   dengan   mengacu   pada tiga
pernyataan yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yaitu :
1.         Apa yang dapat saya ketahui ?
2.         Apa  yang dapat saya harapkan ?
3.         Apa yang dapat saya lakukan ?
ketiga pertanyaan tersebut  menghasilkan tiga wilayah  besar filsafat yaitu wilayah pengetahuan, wilayah ada, dan wilayah nilai. Ketiga wilayah besar tersebut kemudian dibagi lagi kedalam wilayah-wilayah bagian yang lebih spesifik. Wilayah nilai mencakup nilai etika (kebaikan) dan nilai estetika (keindahan), wilayah Ada dikelompokan ke dalam Ontologi dan Metafisika, dan wilayah pengetahuan dibagi ke dalam empat wilayah yaitu filsafat Ilmu, Epistemologi,  Metodologi,   dan   Logika.  lebih lanjut   ketiga  wilayah tersebut diskemakan sbb :





Oval:                            A D A



                                          N I L A I
PENGETAHUAN          
                              ONTOLOGI                                   METAFISIKA
 

Oval:  M  FILSAFAT ILMU                                                                                 ETIKA
EPISTEMOLOGI                                                                                                   
  METODOLOGI
                        LOGIKA                                                       ESTETIKA
Gambar 2.1. Skema Wilayah Filsafat

E.     CABANG-CABANG FILSAFAT
Dengan memahami Bidang-bidang kajian/sistimatika filsafat, nampak bahwa betapa luas cakupan filsafat mengingat segala sesuatu yang ada dapat dijadikan substansi bagi pemikiran filsafat, namun demikian dalam perkembangannya para akhli mencoba mengelompokan cabang-cabang Filsafat kedalam beberapa pengelompokan sehingga nampak lebih fokus dan sistematis. Pencabangan ini pada dasarnya merupakan perkembangan selanjutnya dari pembidangan/sistematika filsafat, seiring makin berkembangnya pemikiran manusia dalam melihat substansi objek material filsafat dengan titik tekan penelaahan yang bervariasi. Berikut ini akan dikemukakan pendapat beberapa pakar tentang cabang-cabang filsafat.




 

1.      Plato (427 – 347 S.M). membedakan lapangan atau bidang-bidang Filsafat  kedalam : 1) Dialektika (yang mengandung persoalan idea-idea atau pengertian-pengertian umum), 2) Fisika (yang mengandung persoalan dunia materi), 3) Etika (yang mengandung persoalan baik dan buruk).
2.      Aristoteles (382 – 322 S.M).berpendapat bahwa Filsafat dapat dibagi ke dalam empat cabang yaitu :
a.      Logika. Merupakan ilmu pendahuluan bagi Filsafat
b.      Filsafat Teoritis. Yang mencakup tiga bidang: 1) Fisika, 2) Matematika, 3) Metafisika.
c.       Filsafat Praktis. Mencakup tiga bidang yaitu 1) Etika, 2) Ekonomi, 3) Politik.
d.      Poetika (kesenian)
3.      Al Kindi. Membagi Filsafat ke dalam tiga bidang yaitu :
a.      Ilmu Thabiiyat (Fisika)--merupakan tingkatan terendah
b.      Ilmu Riyadhi (matematika)—merupakan tingkatan menengah
c.       Ilmu Rububiyat (Ketuhanan)—merupakan tingkatan tertinggi
4.      Al Farabi. Membagi Filsafat ke dalam dua bagian yaitu :
a.  Filsafat Teori.  Meliputi matematika, Fisika, dan Metafisika.
b.  Filsafat Praktis. Meliputi etika dan politik
5.      H. De Vos. Menggolongkan Filsafat ke dalam :
a.      Metafisika (pemikiran di luar kebendaan)
b.      Logika (cara berfikir benar)
c.       Ajaran tentang Ilmu Pengetahuan
d.      Filsafat Alam
e.       Filsafat Kebudayaan
f.        Filsafat sejarah
g.      Etika (masalah baik dan buruk)
h.      Estetika (masalah keindahan, seni)
i.        Antropologi (masalah yang berkaitan dengan manusia)
      
6.     

 
Hasbullah Bakry (1978). Menyatakan bahwa di zaman modern ini pembagian/cabang filsafat terdiri
a.      Filsafat Teoritis yang terdiri dari: logika, Metafisika, filsafat alam, filsafat manusia.
b.      Filsafat praktis. Terdiri dari : etika, filsafat Agama, filsafat kebudayaan
        
7.      Prof.H.Ismaun (2000). Membagi cabang-cabang Filsafat sebagai berikut :
a.      Epistemologi (filsafat pengetahuan)
b.      Etika (filsafat moral.
c.       Estetika (filsafat seni)
d.      Metafisika
e.       Politik (filsafat pemerintahan/negara)
f.        Filsafat Agama
g.      Filsafat pendidikan
h.      Filsafat ilmu
i.        Filsafat hukum
j.        Filsafat sejarah
k.       Filsafat matematika
8.      Richard A. Hopkin. Membahas Filsafat ke dalam tujuh cabang penelaahan yaitu :
a.      Etics (etika)
b.      Political Philosophy (filsafat politik)
c.       Metaphisics (metafisika)
d.      Philosophy of Religion (filsafat Agama)
e.       Theory of Knowledge (teori pengetahuan)
f.        Logics (logika)
9.      Alburey Castell. Membagi filsafat ke dalam :
d.      Ketuhanan (theological problem)
e.       Metafisika (methaphysical problem)
f.        Epistemologi (epistemological problem)
g.      Etika (ethical problem)
h.      Politik (political problem)
i.        Sejarah (historical problem)
10.  Endang Saifuddin Anshori. Membagi cabang-cabang filsafat sebagai berikut :
a.      Metafisika. Filsafat tentang hakekat yang ada dibalik fisika, tentang hakekat yang bersifat transenden, di luar atau di atas jangkauan pengalaman manusia.
b.      Logika. Filsafat tentang pikiran yang benar dan  yang salah.
c.       Etika. Filsafat tentang tingkah laku yang baik dan yang buruk.
d.      Estetika. Filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek
e.       Epistemologi. Filsafat tentang ilmu pengetahuan
f.       Filsafat-filsafat khusus lainnya seperti: filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat agama, filsafat manusia, filsafat pendidikan dan lain sebagainya


Pencabangan filsafat sebagaimana tersebut di atas amat penting dipahami guna melihat perkembangan keluasan dari substansi yang dikaji dan ditelaah dalam filsafat, dan secara teoritis hal itu masih mungkin berkembang sejalan dengan kemendalaman pengkajian terhadap objek materi filsafat.
F.     PENDEKATAN DALAM MEMPELAJARI FILSAFAT
Upaya memahami apa yang dimaksud dengan filsafat dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, secara umum, pendekatan yang diambil dapat dikategorikan berdasarkan sudut pandang terhadap filsafat, yakni filsafat sebagai produk dan filsafat sebagai proses. Sebagai produk artinya melihat filsafat sebagai kumpulan pemikiran dan pendapat yang dikemukakan oleh filsuf, sedangkan sebagai proses, filsafat sebagai suatu bentuk/cara berfikir yang sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir filsafat.
Menurut Donny Gahral Adian (2002), terdapat empat pendekatan dalam melihat/memahami filsafat yaitu:
A.    Pendekatan Definisi.
B.     Pendekatan Sistimatika.
C.     Pendekatan Tokoh
D.    Pendekatan Sejarah
Pendekatan Definisi. Dalam pendekatan ini filsafat dicoba difahami melalui berbagai definisi yang dikemukakan oleh para akhli, dan dalam hubungan ini penelusuran asal kata menjadi penting, mengingat kata filsafat itu sendiri pada dasarnya merupakan kristalisasi/representasi dari konsep-konsep yang terdapat dalam definisi itu sendiri, sehingga pemahaman atas kata filsafat itu sendiri akan sangat membantu dalam memahami definisi filsafat.
            Pendekatan Sistimatika. Objek material Filsafat adalah serwa yang ada dengan berbagai variasi substansi dan tingkatan. Objek material ini bisa ditelaah dari berbagai sudut sesuai dengan fokus keterangan yang diinginkan. Variasi fokus telaahan yang mengacu pada objek formal melahirkan berbagai bidang kajian dalam filsafat yang menggambarkan sistimatika,
Pendekatan Tokoh. Pada umumnya para filsuf jarang membahas secara tuntas seluruh wilayah filsafat, seorang filsuf biasanya mempunyai fokus utama dalam pemikiran filsafatnya. Dalam pendekatan ini seseorang mencoba mendalami filsafat melalui penelaahan pada pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para Filsuf, yang terkadang mempunyai kekhasan tersendiri, sehingga membentuk suatu aliran filsafat tertentu, oleh karena itu pendekatan tokoh juga dapat dikelompokan sebagai pendekatan Aliran, meskipun tidak semua Filsuf memiliki aliran tersendiri.
Pendekatan Sejarah. Pendekatan ini berusaha memahami filsafat dengan melihat aspek sejarah dan perkembangan pemikiran filsafat dari waktu ke waktu dengan melihat kecenderungan-kecenderungan umum sesuai dengan semangat zamannya, kemudian dilakukan periodisasi untuk melihat perkembangan pemikiran filsafat secara kronologis.
Dari pendekatan-pendekatan tersebut di atas, nampak sekali bahwa untuk memahami filsafat seseorang dapat memasukinya melalui empat pintu, namun demikian bagi pemula, pintu-pintu tersebut harus dilalui secara terurut, mengingat pintu pendekatan Tokoh dan pendekatan Historis perlu didasari dengan pemahaman awal tentang filsafat yang dapat diperoleh melalui pintu pendekatan definisi dan pendekatan sistematika.
G.    SUDUT PANDANG TERHADAP FILSAFAT
Terdapat tiga sudut pandang dalam melihat Filsafat, sudut pandang ini menggambarkan variasi pemahaman dalam menggunakan kata Filsafat, sehingga dalam penggunaannya mempunyai konotasi yang berbeda. Adapun sudut pandang tersebut adalah :
1.      Filsafat sebagai metode berfikir (Philosophy as a method of thought)
2.      Filsafat sebagai pandangan hidup (Philosophy as a way of life)
3.      Filsafat sebagai Ilmu (Philosophy as a science)
Filsafat sebagai metode berfikir berarti filsafat dipandang sebagai suatu cara manusia dalam memikirkan tentang segala sesuatu secara radikal dan menyeluruh, Filsafat sebagai pandangan hidup mengacu pada suatu keyakinan yang menjadi dasar dalam kehidupan baik intelektual, emosional, maupun praktikal, sedangkan filsafat sebagai Ilmu artinya melihat filsafat sebagai suatu disiplin ilmu yang mempunyai karakteristik yang khas sesuai dengan sifat suatu ilmu.
H.    SEJARAH SINGKAT FILSAFAT
Sejarah filsafat dapat diperiodisasi ke dalam empat periode (Sudarto. 1996) yaitu :
1.      Tahap/masa Yunani kuno (Abad ke-6 S.M sampai akhir abad ke-3 S.M)
2.      Tahap/masa Abad Pertengahan (akhir abad ke-3 S.M sampai awal abad ke-15 Masehi)
3.      Tahap/masa Modern (akhir abad ke-15 M sampai abad ke-19 Masehi)
4.      Tahap/masa dewasa ini/filsafat kontemporer (abad ke-20 Masehi)
sementara itu K. Bertens dalam bukunya Ringkasan Sejarah Filsafat (1976) menyusun topik-topik pembahasannya sebagi berikut :
1.         Masa Purba Yunani
2.         Masa Patristik dan Abad pertengahan
3.         Masa Modern
Pembagian periodisasi yang nampaknya lebih rinci, dikemukakan oleh Susane K. Langer (Donny Gahral Adian, 2002) yang membagi sejarah filsafat ke dalam enam tahapan yaitu :
1.         Yunani Kuno (+ 600 SM)
2.         Filsuf-filsuf Manusia Yunani
3.         Abad Pertengahan (300 SM –1300M)
4.         Filsafat Modern (17-19 M)
5.         Positivisme (Abad 20 M)
6.         Alam Simbolis
kemudian Gahral Adian menambahkan kepada enam tahapan tersebut dengan satu tahapan lagi yaitu  Post Modernisme. Meskipun terdapat perbedaan dalam periodisasi sejarah filsafat, namun semua itu nampaknya lebih menunjukan perincian dengan menggunakan sifat pemikiran serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.
Masa Yunani Kuno. Pada tahap awal kelahirannya filsafat  menampakkan diri sebagi suatu bentuk mitologi, serta dongeng-dongeng yang dipercayai oleh Bangsa Yunani, baru sesudah Thales (624-548 S.M) mengemukakan pertanyaan aneh pada waktu itu, filsafat berubah menjadi suatu bentuk pemikiran rasional (logos). Pertanyaan Thales yang menggambarkan rasa keingintahuan bukanlah pertanyaan biasa seperti apa rasa kopi ?, atau pada tahun keberapa tanaman kopi berbuah ?, pertanyaan Thales yang merupakan pertanyaan filsafat, karena mempunyai bobot yang dalam sesuatu yang ultimate (bermakna dalam) yang mempertanyakan tentang Apa sebenarnya bahan alam semesta ini (What is the nature of the world stuff ?), atas pertanyaan ini indra tidak bisa menjawabnya, sains juga terdiam, namun Filsuf berusaha menjawabnya. Thales menjawab Air (Water is the basic principle of the universe), dalam pandangan Thales air merupakan prinsip dasar alam semesta, karena air dapat berubah menjadi berbagai wujud
Kemudian silih berganti Filsuf memberikan jawaban terhadap bahan dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya masing-masing. Anaximandros (610-540 S.M) mengatakan Arche is to Apeiron, Apeiron adalah sesuatu yang paling awal dan abadi, Pythagoras (580-500 S.M) menyatakan bahwa hakekat alam semesta adalah bilangan, Demokritos (460-370 S.M) berpendapat hakekat alam semesta adalah Atom, Anaximenes (585-528 S.M) menyatakan udara, dan Herakleitos (544-484 S.M) menjawab asal hakekat alam semesta adalah api, dia berpendapat bahwa di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya mengalir . Variasi jawaban yang dikemukakan para filsuf menandai dinamika pemikiran yang mencoba mendobrak dominasi mitologi, mereka mulai secara intens memikirkan tentang Alam/Dunia, sehingga sering dijuluki sebagai Philosopher atau akhli tentang Filsafat Alam (Natural Philosopher), yang dalam perkembangan selanjutnya melahirkan Ilmu-ilmu kealaman.
Pada perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran tentang Alam, para akhli fikir Yunani pun banyak yang  berupaya memikirkan tentang hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf terkenal yang banyak mencurahkan perhatiannya pada kehidupan manusia adalah Socrates   (470-399 S.M),  dia   sangat   menentang  ajaran  kaum  Sofis
Yang   cenderung   mempermainkan   kebenaran, Socrates  berusaha
meyakinkan bahwa kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang

Text Box: Kaum  Sofis

Kaum  Sofis adalah golongan yang tidak lagi memikirkan alam, malainkan melatih kemahiran manusia dalam berpidato, berargumentasi untuk mempertahankan kebenaran, akan tetapi bagi mereka kebenaran itu sifatnya relatif tergantung kemampuan berargumentasi. Salah seorang tokohnya adalah Protagoras yang berpendapat bahwa Man is the measure of all things

objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Dia mengajukan pertanyaan pada siapa saja yang ditemui dijalan untuk membukakan batin warga Athena kepada kebenaran (yang benar) dan kebaikan (yang baik). Dari prilakunya ini pemerintah  Athena menganggap Socrates sebagai penghasut, dan akhirnya dia dihukum mati dengan jalan meminum racun.
Sesudah Socrates mennggal, filsafat Yunani terus berkembang dengan Tokohnya Plato (427-347 S.M), salah seorang murid Socrates. Diantara pemikiran Plato yang penting adalah  berkaitan dengan pembagian relaitas ke dalam dua bagian yaitu realitas/dunia yang hanya terbuka bagi rasio, dan dunia yang terbuka bagi pancaindra, dunia pertama terdiri dari idea-idea, dan dunia ke dua adalah dunia jasmani (pancaindra), dunia ide sifatnya sempurna dan tetap, sedangkan dunia jasmani selalu berubah. Dengan pendapatnya tersebut, menurut Kees Berten (1976), Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Herakleitos dengan pendapatnya Permenides, menurut Herakleitos segala sesuatu selalu berubah, ini benar kata Plato, tapi hanya bagi dunia Jasmani (Pancaindra), sementara menurut Permenides segala sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah, ini juga benar kata Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja.
Dalam sejarah Filsafat Yunani, terdapat seorang filsuf yang sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M), seorang yang pernah belajar di Akademia Plato di Athena. Setelah Plato meninggal Aristoteles menjadi guru pribadinya Alexander Agung selama dua tahun, sesudah itu dia kembali lagi ke Athena dan mendirikan Lykeion, dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Plato meskipun dalam filsafat, Aristoteles mengambil jalan yang berbeda (Aristoteles pernah mengatakan-ada juga yang berpendapat bahwa ini bukan ucapan Aristoteles- Amicus Plato, magis amica veritas – Plato  memang sahabatku, tapi kebenaran lebih akrab bagiku – ungkapan ini terkadang diterjemahkan bebas menjadi “Saya mencintai Plato, tapi saya lebih mencintai kebenaran”)

Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi, Morphe = bentuk), menurut teori ini,  setiap benda jasmani memiliki dua hal  yaitu bentuk dan materi, sebagai contoh, sebuah patung pasti memiliki dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau batu, dan bentuk misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh dimingkinkannya Ilmu pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari materi dan bentuk, bentuk adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka konsekwensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga akan hancur.
Disamping pendapat tersebut Aristoteles juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu cara berpikir yang teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab akibat. Dia adalah yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur  dalam suatu sistem, yang intisarinya adalah Sylogisme (masalah ini akan diuraikan khusus dalam topik Logika) yaitu menarik  kesimpulan dari kenyataan umum atas hal yang khusus (Mohammad Hatta, 1964).
Abad Pertengahan. Semenjak meninggalnya Aristoteles, filsafat terus berkembang dan mendapat kedudukan yang tetap penting dalam kehidupan pemikiran manusia meskipun dengan corak dan titik tekan yang berbeda. Periode sejak meninggalnya Aristoteles (atau sesudah meninggalnya Alexander Agung (323 S.M) sampai menjelang lahirnya Agama Kristen oleh Droysen (Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode Hellenistik (Hellenisme adalah istilah yang menunjukan kebudayaan gabungan antara budaya Yunani dan Asia Kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir Kuno). Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian pada hal yang lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan semangat yang Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan) dan bercorak Mistik.
Menurut  A. Epping. at al (1983), ciri manusia (pemikiran filsafat) abad pertengahan adalah :

1.         Ciri berfilsafatnya dipimpin oleh Gereja
2.         Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles
3.         berfilsafat dengan pertolongan Augustinus
pada masa ini filsafat cenderung kehilangan otonominya, pemikiran filsafat abad pertengahan bercirikan Teosentris (kebenaran berpusat pada wahyu Tuhan), hal ini tidak mengherankan mengingat pada masa ini pengaruh Agama Kristen sangat besar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pemikiran.
            Filsafat abad pertengahan sering juga disebut filsafat scholastik, yakni filsafat yang mempunyai corak semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi. Pada masa ini memang terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara pemikiran Rasional (terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu Tuhan sehingga dapat dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan akal. Keadaan ini pun terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat ajaran Islam dengan sudut pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya pengaruh pemikiran-pemikiran ahli filsafat Yunani/hellenisme dalam dunia pemikiran saat itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan landasan filosofisnya agar menjadi suatu keyakinan yang rasional.
Pemikiran-pemikiran yang mencoba melihat Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia Islam maupun Kristen, sehingga para ahli mengelompokan filsafat skolastik ke dalam filsafat skolastik Islam dan filsafat skolastik Kristen.
Di dunia Islam (Umat Islam) lahir filsuf-filsuf terkenal seperti Al Kindi (801-865 M),  Al Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198), sementara itu di dunia Kristen lahir Filsuf-filsuf antara lain seperti  Peter Abelardus (1079-1180), Albertus Magnus (1203-1280 M), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga orang-orang yang mendalami ajaran agamanya masing-masing, sehingga corak pemikirannya mengacu pada upaya mempertahankan keyakinan agama dengan jalan filosofis, meskipun dalam banyak hal terkadang ajaran Agama dijadikan Hakim untuk memfonis benar tidaknya suatu hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran Rasional).
            Masa Modern. Pada masa ini pemikiran filosofis seperti dilahirkan kembali dimana sebelumnya dominasi gereja sangat dominan yang berakibat pada upaya mensinkronkan antara ajaran gereja dengan pemikiran filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai zaman modern dengan salah seorang pelopornya adalah Descartes, dia berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi kembali rasio yang sebelumnya hanya menjadi budak keimanan.
            Diantara pemikiran Desacartes (1596-1650) yang penting adalah diktum kesangsian, dengan mengatakan Cogito ergo sum, yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada. Dengan ungkapan ini posisi rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi semakin kuat, ajarannya punya pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, segala sesuatu bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir menguatkan kepada kepastian.
            Dalam perkembangnnya argumen Descartes (rasionalisme) mendapat tantangan keras dari para filosof penganut Empirisme seperti David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704). Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut terus berlanjut sampai muncul Immanuel Kant (1724-1804) yang berhasil membuat sintesis antara rasionalisme dengan empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh sentral dalam zaman modern dengan pernyataannya yang terkenal sapere aude(berani berfikir sendiri), pernyataan ini jelas makin mendorong upaya-upaya berfikir manusia tanpa perlu takut terhadap kekangan dari Gereja.
Pandangan empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah munculnya pandangan August Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami  hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan  keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal  itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui)  alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti  dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
            Pengaruh positivisme yang sangat besar dalam zaman modern sampai sekarang ini, telah mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel Bell dalam bukunya The cultural contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi telah berubah menjadi hedonis konsumeristis.
            Postmodernisme pada dasarnya merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi universal serta kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih memberikan tempat pada narasi-narasi kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada keberagaman dalam memaknai kehidupan.