B A B 2
F I L S A F A T
Aku tidak boleh
mengatakan bahwa mereka bijaksana, sebabkebijaksanaan adalah sesuatu yang
luhur, dan hanya dimiliki oleh Tuhan sendiri. Sebutan yang bersahaja, yaitu
yang selayaknya diberikan kepada mereka adalah pencinta kebijaksanaan atau
akhli Filsafat (Socrates dalam Phaedrus karya Plato)
A. PENGERTIAN FILSAFAT
Secara etimologis filsafat
berasal dari bahasa Yunani dari kata “philo” berarti cinta dan” sophia”
yang berarti kebenaran, sementara itu menurut I.R. Pudjawijatna (1963 :
1) “Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu
ingin dan karena ingin lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu . Sofia
artinya kebijaksanaan , bijaksana artinya pandai, mengerti dengan mendalam,
jadi menurut namanya saja Filsafat boleh
dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam
atau cinta dengan kebijaksanaan.
Kecintaan pada
kebijaksanaan haruslah dipandang sebagai suatu bentuk proses, artinya segala
upaya pemikiran untuk selalu mencari hal-hal yang bijaksana, bijaksana di
dalamnya mengandung dua makna yaitu baik dan benar, baik adalah sesuatu yang
berdimensi etika, sedangkan benar adalah sesuatu yang berdimensi rasional, jadi
sesuatu yang bijaksana adalah sesuatu yang etis dan logis. Dengan demikian berfilsafat
berarti selalu berusaha untuk berfikir guna mencapai kebaikan dan kebenaran,
berfikir dalam filsafat bukan sembarang berfikir namun berpikir secara radikal
sampai ke akar-akarnya, oleh karena itu meskipun berfilsafat mengandung
kegiatan berfikir, tapi tidak setiap kegiatan berfikir berarti filsafat atau
berfilsafat. Sutan Takdir Alisjahbana (1981) menyatakan bahwa pekerjaan
berfilsafat itu ialah berfikir, dan hanya manusia yang telah tiba di tingkat
berfikir, yang berfilsafat. Guna lebih memahami mengenai makna filsafat berikut
ini akan dikemukakan definisi filsafat yang dikemukakan oleh para akhli :
|
1.
Plato salah seorang murid Socrates yang
hidup antara 427 – 347 Sebelum Masehi mengartikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala yang ada,
serta pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
2.
Aristoteles (382 – 322 S.M) murid Plato,
mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik dan estetika. Dia juga berpendapat bahwa filsafat itu menyelidiki sebab
dan asas segala benda.
3.
Cicero (106 – 43 S.M). filsafat adalah
pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha mencapai hal
tersebut.
4.
Al Farabi (870 – 950 M). seorang Filsuf Muslim
mendefinidikan Filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud, bagaimana
hakikatnya yang sebenarnya.
5. Immanuel Kant (1724 – 1804). Mendefinisikan Filsafat
sebagai ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat
persoalan yaitu :
a.
Metafisika (apa yang dapat kita ketahui).
b.
Etika (apa yang boleh kita kerjakan).
c. Agama ( sampai dimanakah pengharapan kita)
d.
Antropologi (apakah yang dinamakan
manusia).
6.
H.C Webb dalam
bukunya History of Philosophy menyatakan bahwa filsafat mengandung pengertian
penyelidikan. Tidak hanya penyelidikan hal-hal yang khusus dan tertentu saja,
bahkan lebih-lebih mengenai sifat – hakekat baik dari dunia kita, maupun dari
cara hidup yang seharusnya kita selenggarakan di dunia ini.
|
7.
Harold H. Titus dalam
bukunya Living Issues in Philosophy mengemukakan beberapa pengertian filsafat
yaitu :
a.
Philosophy is an attitude toward life and universe (Filsafat
adalah sikap terhadap kehidupan dan alam semesta).
b.
Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned
inquiry (Filsafat adalah suatu metode berfikir reflektif dan pengkajian secara
rasional)
c.
Philosophy is a group of problems (Filsafat adalah sekelompok
masalah)
d.
Philosophy is a group of systems of thought (Filsafat adalah
serangkaian sistem berfikir)
Dari beberapa pengertian
di atas nampak bahwa ada akhli yang menekankan pada subtansi dari apa yang
difikirkan dalam berfilsafat seperti pendapat Plato dan pendapat Al Farabi,
Aristoteles lebih menekankan pada cakupan apa yang difikirkan dalam filsafat
demikian juga Kant setelah menyebutkan sifat filsafatnya itu sendiri sebagai
ilmu pokok, sementara itu Cicero disamping menekankan pada substansi juga pada
upaya-upaya pencapaiannya. Demikian juga H.C. Webb melihat filsafat
sebagai upaya penyelidikan tentang substansi yang baik sebagai suatu keharusan
dalam hidup di dunia. Definisi yang nampaknya lebih menyeluruh adalah yang
dikemukakan oleh Titus, yang menekankan pada dimensi-dimensi filsafat dari
mulai sikap, metode berfikir, substansi masalah, serta sistem berfikir.
Meskipun demikian, bila
diperhatikan secara seksama, nampak pengertian-pengertian tersebut lebih
bersifat saling melengkapi, sehingga dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti
penyeledikan tentang Apanya, Bagaimananya, dan untuk apanya,
dalam konteks ciri-ciri berfikir filsafat, yang bila dikaitkan dengan
terminologi filsafat tercakup dalam ontologi (apanya), epistemologi (bagaimananya),
dan axiologi (untuk apanya)
B.
CIRI-CIRI FILSAFAT
Bila dilihat dari
aktivitasnya filsafat merupakan suatu cara berfikir yang mempunyai
karakteristik tertentu. Menurut Sutan
Takdir Alisjahbana syarat-syarat berfikir yang disebut berfilsafat yaitu : a)
Berfikir dengan teliti, dan b) Berfikir
menurut aturan yang pasti. Dua ciri tersebut menandakan berfikir yang
insaf, dan berfikir yang demikianlah yang disebut berfilsafat. Sementara itu Sidi
Gazalba (1976) menyatakan bahwa ciri ber-Filsafat atau berfikir Filsafat
adalah : radikal, sistematik, dan universal. Radikal
bermakna berfikir sampai ke akar-akarnya (Radix artinya akar), tidak
tanggung-tanggung sampai dengan berbagai konsekwensinya dengan tidak
terbelenggu oleh berbagai pemikiran yang sudah diterima umum, Sistematik
artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional
dan dapat dipertanggungjawabkan, Universal artinya berfikir secara
menyeluruh tidak pada bagian-bagian khusus yang sifatnya terbatas.
Sementara
itu Sudarto (1996) menyatakan bahwa
ciri-ciri berfikir Filsafat adalah :
a.
Metodis : menggunakan metode, cara, yang lazim digunakan oleh filsuf
(akhli filsafat) dalam proses berfikir
b.
Sistematis : berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam
suatu keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis.
c.
Koheren : diantara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu
yang bertentangan dan tersusun secara logis
d.
Rasional : mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis
(sesuai dengan kaidah logika)
e.
Komprehensif : berfikir tentang sesuatu dari berbagai sudut
(multidimensi).
f.
Radikal : berfikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai
pada tingkatan esensi yang sedalam-dalamnya
g.
Universal : muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada
realitas kehidupan manusia secara keseluruhan
Dengan demikian
berfilsafat atau berfikir filsafat bukanlah sembarang berfikir tapi berfikir
dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam. Pada
dasarnya manusia adalah homo sapien, hal ini tidak serta merta semua
manusia menjadi Filsuf, sebab berfikir filsafat memerlukan latihan dan pembiasaan
yang terus menerus dalam kegiatan berfikir sehingga setiap masalah/substansi
mendapat pencermatan yang mendalam untuk mencapai kebenaran jawaban dengan cara
yang benar sebagai manifestasi kecintaan pada kebenaran.
C. OBJEK FILSAFAT
Pada dasarnya filsafat atau berfilsafat bukanlah sesuatu yang
asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari, karena segala sesuatu yang ada
dan yang mungkin serta dapat difikirkan bisa menjadi objek filsafat apabila
selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran. Louis
Kattsoff menyebutkan bahwa lapangan kerja filsafat itu bukan main luasnya
yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin
diketahui manusia, Langeveld (1955) menyatakan bahwa filsafat itu
berpangkal pada pemikiran keseluruhan serwa sekalian secara radikal dan menurut
sistem, sementara itu Mulder (1966) menjelaskan bahwa tiap-tiap manusia
yang mulai berfikir tentang diri sendiri dan tentang tempat-tempatnya dalam
dunia akan menghadapi beberapa persoalan
yang begitu penting, sehingga persoalan-persoalan itu boleh diberi nama
persoalan-persoalan pokok yaitu : 1) Adakah Allah dan siapakan
Allah itu ?, 2) apa dan
siapakah manusia ?, dan 3)
Apakah hakekat dari segala realitas, apakah maknanya, dan apakah intisarinya ?.
Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions of
Philosophy (1962) menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara
tersirat menunjukan objek filsafat)
ialah : Truth (kebenaran), Matter (materi), Mind (pikiran), The Relation
of matter and mind (hubungan antara materi dan pikiran), Space and Time (ruang
dan waktu), Cause (sebab-sebab), Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism
(serba tunggal lawan serba jamak), dan God (Tuhan)
Pendapat-pendapat tersebut di atas menggambarkan
betapa luas dan mencakupnya objek filsafat baik dilihat dari substansi masalah
maupun sudut pandang nya terhadap masalah, sehingga dapat disimpulkan bahwa
objek filsafat adalah segala sesuatu yang maujud dalam sudut pandang dan kajian
yang mendalam (radikal). Secara lebih sistematis para akhli membagi objek
filsafat ke dalam objek material dan obyek formal. Obyek material adalah objek
yang secara wujudnya dapat dijadikan
bahan telaahan dalam berfikir, sedangkan obyek formal adalah objek yang menyangkut
sudut pandang dalam melihat obyek material tertentu.
Menurut Endang Saefudin
Anshori (1981) objek material filsafat adalah sarwa yang ada (segala
sesuatu yang berwujud), yang pada garis besarnya dapat dibagi
atas tiga persoalan pokok yaitu : 1). Hakekat Tuhan; 2). Hakekat Alam;
dan 3). Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari
keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian
objek material filsafat mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang
dapat difikirkan oleh manusia, sedangkan objek formal filsafat menggambarkan
tentang cara dan sifat berfikir terhadap objek material tersebut, dengan kata
lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang yang digunakan dalam
memikirkan objek material filsafat.
D.
SISTIMATIKA FILSAFAT
adapun Bidang-bidang
kajian/sistimatika filsafat antara lain adalah :
1.
Ontologi. Bidang
filsafat yang meneliti hakikat wujud/ada (on = being/ada; logos = pemikiran/
ilmu/teori).
2.
Epistemologi. Filsafat yang
menyelidiki tentang sumber, syarat serta proses terjadinya pengetahuan
(episteme = pengetahuan/knowledge; logos = ilmu/teori/pemikiran)
3.
Axiologi. Bidang
filsafat yang menelaah tentang hakikat nilai-nilai (axios = value; logos =
teori/ilmu/pemikiran)
Sementara
itu menurut Gahral Adian, Pendekatan filsafat melalui sistimatika
dapat dilakukan dengan
mengacu pada tiga
pernyataan yang
dikemukakan oleh Immanuel Kant yaitu :
1.
Apa yang dapat saya ketahui ?
2.
Apa
yang dapat saya harapkan ?
3.
Apa yang dapat saya lakukan ?
ketiga pertanyaan tersebut menghasilkan tiga wilayah besar filsafat yaitu wilayah pengetahuan,
wilayah ada, dan wilayah nilai. Ketiga wilayah besar tersebut kemudian dibagi
lagi kedalam wilayah-wilayah bagian yang lebih spesifik. Wilayah nilai mencakup
nilai etika (kebaikan) dan nilai estetika (keindahan), wilayah Ada dikelompokan ke dalam Ontologi dan
Metafisika, dan wilayah pengetahuan dibagi ke dalam empat wilayah yaitu filsafat
Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan
Logika. lebih lanjut ketiga
wilayah tersebut diskemakan sbb :
ONTOLOGI METAFISIKA
FILSAFAT ILMU
ETIKA
EPISTEMOLOGI
METODOLOGI
LOGIKA
ESTETIKA
Gambar 2.1. Skema Wilayah Filsafat
E. CABANG-CABANG FILSAFAT
Dengan memahami
Bidang-bidang kajian/sistimatika filsafat, nampak bahwa betapa luas cakupan
filsafat mengingat segala sesuatu yang ada dapat dijadikan substansi bagi
pemikiran filsafat, namun demikian dalam perkembangannya para akhli mencoba
mengelompokan cabang-cabang Filsafat kedalam beberapa pengelompokan sehingga
nampak lebih fokus dan sistematis. Pencabangan ini pada dasarnya merupakan
perkembangan selanjutnya dari pembidangan/sistematika filsafat, seiring makin
berkembangnya pemikiran manusia dalam melihat substansi objek material filsafat
dengan titik tekan penelaahan yang bervariasi. Berikut ini akan dikemukakan
pendapat beberapa pakar tentang cabang-cabang filsafat.
|
1.
Plato (427 – 347 S.M). membedakan lapangan
atau bidang-bidang Filsafat kedalam : 1)
Dialektika (yang mengandung persoalan idea-idea atau pengertian-pengertian
umum), 2) Fisika (yang mengandung persoalan dunia materi), 3) Etika (yang
mengandung persoalan baik dan buruk).
2.
Aristoteles (382 – 322 S.M).berpendapat bahwa
Filsafat dapat dibagi ke dalam empat cabang yaitu :
a.
Logika. Merupakan ilmu pendahuluan bagi Filsafat
b.
Filsafat Teoritis. Yang mencakup tiga
bidang: 1) Fisika, 2) Matematika, 3) Metafisika.
c.
Filsafat Praktis. Mencakup tiga bidang
yaitu 1) Etika, 2) Ekonomi, 3) Politik.
d.
Poetika (kesenian)
3.
Al Kindi. Membagi Filsafat ke dalam tiga bidang yaitu :
a.
Ilmu Thabiiyat (Fisika)--merupakan tingkatan terendah
b.
Ilmu Riyadhi (matematika)—merupakan tingkatan menengah
c.
Ilmu Rububiyat (Ketuhanan)—merupakan
tingkatan tertinggi
4.
Al Farabi. Membagi
Filsafat ke dalam dua bagian yaitu :
a. Filsafat
Teori. Meliputi matematika, Fisika, dan
Metafisika.
b. Filsafat
Praktis. Meliputi etika dan politik
5.
H. De Vos. Menggolongkan Filsafat ke dalam :
a.
Metafisika (pemikiran di luar kebendaan)
b. Logika (cara berfikir benar)
c. Ajaran tentang Ilmu Pengetahuan
d. Filsafat Alam
e. Filsafat Kebudayaan
f.
Filsafat
sejarah
g.
Etika (masalah baik dan buruk)
h. Estetika (masalah keindahan, seni)
i.
Antropologi (masalah yang berkaitan
dengan manusia)
6.
Hasbullah Bakry (1978).
Menyatakan bahwa di zaman modern ini pembagian/cabang filsafat terdiri
|
a.
Filsafat Teoritis yang terdiri dari:
logika, Metafisika, filsafat alam, filsafat manusia.
b.
Filsafat praktis. Terdiri dari : etika,
filsafat Agama, filsafat kebudayaan
7.
Prof.H.Ismaun (2000). Membagi
cabang-cabang Filsafat sebagai berikut :
a. Epistemologi (filsafat pengetahuan)
b. Etika (filsafat moral.
c. Estetika (filsafat seni)
d. Metafisika
e. Politik (filsafat pemerintahan/negara)
f.
Filsafat
Agama
g. Filsafat pendidikan
h. Filsafat ilmu
i.
Filsafat
hukum
j.
Filsafat
sejarah
k.
Filsafat matematika
8.
Richard A. Hopkin. Membahas Filsafat ke dalam tujuh
cabang penelaahan yaitu :
a.
Etics (etika)
b.
Political Philosophy (filsafat politik)
c.
Metaphisics (metafisika)
d.
Philosophy of Religion (filsafat Agama)
e.
Theory of Knowledge (teori pengetahuan)
f.
Logics (logika)
9.
Alburey Castell. Membagi filsafat ke dalam :
d.
Ketuhanan (theological problem)
e.
Metafisika (methaphysical problem)
f.
Epistemologi (epistemological problem)
g.
Etika (ethical problem)
h.
Politik (political problem)
i.
Sejarah (historical problem)
10. Endang Saifuddin Anshori. Membagi cabang-cabang
filsafat sebagai berikut :
a.
Metafisika. Filsafat tentang hakekat yang ada dibalik fisika,
tentang hakekat yang bersifat transenden, di luar atau di atas jangkauan
pengalaman manusia.
b.
Logika. Filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah.
c.
Etika. Filsafat tentang tingkah laku yang baik dan yang
buruk.
d.
Estetika. Filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek
e.
Epistemologi. Filsafat tentang ilmu pengetahuan
f.
Filsafat-filsafat khusus lainnya seperti: filsafat hukum,
filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat agama, filsafat manusia, filsafat
pendidikan dan lain sebagainya
Pencabangan filsafat
sebagaimana tersebut di atas amat penting dipahami guna melihat perkembangan
keluasan dari substansi yang dikaji dan ditelaah dalam filsafat, dan secara
teoritis hal itu masih mungkin berkembang sejalan dengan kemendalaman
pengkajian terhadap objek materi filsafat.
F. PENDEKATAN DALAM
MEMPELAJARI FILSAFAT
Upaya memahami apa yang
dimaksud dengan filsafat dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, secara
umum, pendekatan yang diambil dapat dikategorikan berdasarkan sudut pandang
terhadap filsafat, yakni filsafat sebagai produk dan filsafat sebagai proses.
Sebagai produk artinya melihat filsafat sebagai kumpulan pemikiran dan pendapat
yang dikemukakan oleh filsuf, sedangkan sebagai proses, filsafat sebagai suatu
bentuk/cara berfikir yang sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir filsafat.
Menurut Donny Gahral
Adian (2002), terdapat empat pendekatan dalam melihat/memahami filsafat
yaitu:
A. Pendekatan Definisi.
B. Pendekatan Sistimatika.
C. Pendekatan Tokoh
D. Pendekatan Sejarah
Pendekatan Definisi. Dalam pendekatan ini
filsafat dicoba difahami melalui berbagai definisi yang dikemukakan oleh para
akhli, dan dalam hubungan ini penelusuran asal kata menjadi penting, mengingat
kata filsafat itu sendiri pada dasarnya merupakan kristalisasi/representasi
dari konsep-konsep yang terdapat dalam definisi itu sendiri, sehingga pemahaman
atas kata filsafat itu sendiri akan sangat membantu dalam memahami definisi
filsafat.
Pendekatan Sistimatika. Objek material Filsafat
adalah serwa yang ada dengan berbagai variasi substansi dan tingkatan. Objek
material ini bisa ditelaah dari berbagai sudut sesuai dengan fokus keterangan
yang diinginkan. Variasi fokus telaahan yang mengacu pada objek formal
melahirkan berbagai bidang kajian dalam filsafat yang menggambarkan
sistimatika,
Pendekatan Tokoh. Pada umumnya para filsuf
jarang membahas secara tuntas seluruh wilayah filsafat, seorang filsuf biasanya
mempunyai fokus utama dalam pemikiran filsafatnya. Dalam pendekatan ini
seseorang mencoba mendalami filsafat melalui penelaahan pada
pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para Filsuf, yang terkadang mempunyai
kekhasan tersendiri, sehingga membentuk suatu aliran filsafat tertentu, oleh
karena itu pendekatan tokoh juga dapat dikelompokan sebagai pendekatan Aliran,
meskipun tidak semua Filsuf memiliki aliran tersendiri.
Pendekatan Sejarah. Pendekatan ini berusaha
memahami filsafat dengan melihat aspek sejarah dan perkembangan pemikiran
filsafat dari waktu ke waktu dengan melihat kecenderungan-kecenderungan umum
sesuai dengan semangat zamannya, kemudian dilakukan periodisasi untuk melihat
perkembangan pemikiran filsafat secara kronologis.
Dari pendekatan-pendekatan
tersebut di atas, nampak sekali bahwa untuk memahami filsafat seseorang dapat
memasukinya melalui empat pintu, namun demikian bagi pemula, pintu-pintu
tersebut harus dilalui secara terurut, mengingat pintu pendekatan Tokoh dan
pendekatan Historis perlu didasari dengan pemahaman awal tentang filsafat yang
dapat diperoleh melalui pintu pendekatan definisi dan pendekatan sistematika.
G. SUDUT PANDANG TERHADAP
FILSAFAT
Terdapat tiga sudut
pandang dalam melihat Filsafat, sudut pandang ini menggambarkan variasi
pemahaman dalam menggunakan kata Filsafat, sehingga dalam penggunaannya
mempunyai konotasi yang berbeda. Adapun sudut pandang tersebut adalah :
1.
Filsafat sebagai metode berfikir (Philosophy as a method of
thought)
2.
Filsafat sebagai pandangan hidup (Philosophy as a way of life)
3.
Filsafat sebagai Ilmu (Philosophy as a science)
Filsafat sebagai metode berfikir
berarti filsafat dipandang sebagai suatu cara manusia dalam memikirkan tentang
segala sesuatu secara radikal dan menyeluruh, Filsafat sebagai pandangan hidup
mengacu pada suatu keyakinan yang menjadi dasar dalam kehidupan baik
intelektual, emosional, maupun praktikal, sedangkan filsafat sebagai Ilmu
artinya melihat filsafat sebagai suatu disiplin ilmu yang mempunyai
karakteristik yang khas sesuai dengan sifat suatu ilmu.
H. SEJARAH SINGKAT FILSAFAT
Sejarah filsafat dapat
diperiodisasi ke dalam empat periode (Sudarto. 1996) yaitu :
1.
Tahap/masa Yunani kuno (Abad ke-6 S.M sampai akhir abad ke-3
S.M)
2.
Tahap/masa Abad Pertengahan (akhir abad ke-3 S.M sampai awal
abad ke-15 Masehi)
3.
Tahap/masa Modern (akhir abad ke-15 M sampai abad ke-19
Masehi)
4.
Tahap/masa dewasa ini/filsafat kontemporer (abad ke-20
Masehi)
sementara itu K. Bertens dalam
bukunya Ringkasan Sejarah Filsafat (1976) menyusun topik-topik
pembahasannya sebagi berikut :
1.
Masa Purba Yunani
2.
Masa Patristik dan Abad pertengahan
3.
Masa Modern
Pembagian periodisasi yang nampaknya
lebih rinci, dikemukakan oleh Susane K. Langer (Donny Gahral Adian,
2002) yang membagi sejarah filsafat ke dalam enam tahapan yaitu :
1.
Yunani Kuno (+ 600 SM)
2.
Filsuf-filsuf Manusia Yunani
3.
Abad Pertengahan (300 SM –1300M)
4.
Filsafat Modern (17-19 M)
5.
Positivisme (Abad 20 M)
6.
Alam Simbolis
kemudian Gahral Adian
menambahkan kepada enam tahapan tersebut dengan satu tahapan lagi yaitu Post
Modernisme. Meskipun terdapat perbedaan dalam periodisasi sejarah filsafat,
namun semua itu nampaknya lebih menunjukan perincian dengan menggunakan sifat
pemikiran serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.
Masa Yunani Kuno. Pada tahap awal
kelahirannya filsafat menampakkan diri
sebagi suatu bentuk mitologi, serta dongeng-dongeng yang dipercayai oleh Bangsa
Yunani, baru sesudah Thales (624-548 S.M) mengemukakan pertanyaan aneh
pada waktu itu, filsafat berubah menjadi suatu bentuk pemikiran rasional
(logos). Pertanyaan Thales yang menggambarkan rasa keingintahuan bukanlah
pertanyaan biasa seperti apa rasa kopi ?, atau pada tahun keberapa tanaman kopi
berbuah ?, pertanyaan Thales yang merupakan pertanyaan filsafat, karena
mempunyai bobot yang dalam sesuatu yang ultimate (bermakna dalam) yang
mempertanyakan tentang Apa sebenarnya bahan alam semesta ini (What is
the nature of the world stuff ?), atas pertanyaan ini indra tidak bisa
menjawabnya, sains juga terdiam, namun Filsuf berusaha menjawabnya. Thales
menjawab Air (Water is the basic principle of the universe), dalam
pandangan Thales air merupakan prinsip dasar alam semesta, karena air
dapat berubah menjadi berbagai wujud
Kemudian silih berganti Filsuf memberikan jawaban terhadap
bahan dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya masing-masing. Anaximandros
(610-540 S.M) mengatakan Arche is to Apeiron, Apeiron adalah sesuatu
yang paling awal dan abadi, Pythagoras (580-500 S.M) menyatakan bahwa
hakekat alam semesta adalah bilangan, Demokritos (460-370 S.M)
berpendapat hakekat alam semesta adalah Atom, Anaximenes (585-528
S.M) menyatakan udara, dan Herakleitos (544-484 S.M) menjawab
asal hakekat alam semesta adalah api, dia berpendapat bahwa di dunia ini
tak ada yang tetap, semuanya mengalir . Variasi jawaban yang dikemukakan
para filsuf menandai dinamika pemikiran yang mencoba mendobrak dominasi
mitologi, mereka mulai secara intens memikirkan tentang Alam/Dunia, sehingga
sering dijuluki sebagai Philosopher atau akhli tentang Filsafat Alam (Natural
Philosopher), yang dalam perkembangan selanjutnya melahirkan Ilmu-ilmu
kealaman.
Pada
perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran tentang Alam, para akhli fikir
Yunani pun banyak yang berupaya
memikirkan tentang hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir
lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya
mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf terkenal yang banyak
mencurahkan perhatiannya pada kehidupan manusia adalah Socrates (470-399 S.M), dia
sangat menentang ajaran
kaum Sofis
Yang
cenderung mempermainkan kebenaran, Socrates berusaha
meyakinkan bahwa kebenaran dan kebaikan sebagai
nilai-nilai yang
Kaum Sofis adalah golongan yang tidak lagi
memikirkan alam, malainkan melatih kemahiran manusia dalam berpidato, berargumentasi
untuk mempertahankan kebenaran, akan tetapi bagi mereka kebenaran itu sifatnya
relatif tergantung kemampuan berargumentasi. Salah seorang tokohnya adalah Protagoras
yang berpendapat bahwa Man is the measure of all things
objektif yang harus diterima dan
dijunjung tinggi oleh semua orang. Dia mengajukan pertanyaan pada siapa saja
yang ditemui dijalan untuk membukakan batin warga Athena kepada kebenaran (yang
benar) dan kebaikan (yang baik). Dari prilakunya ini pemerintah Athena menganggap Socrates sebagai penghasut,
dan akhirnya dia dihukum mati dengan jalan meminum racun.
Sesudah Socrates
mennggal, filsafat Yunani terus berkembang dengan Tokohnya Plato
(427-347 S.M), salah seorang murid Socrates. Diantara pemikiran Plato
yang penting adalah berkaitan dengan
pembagian relaitas ke dalam dua bagian yaitu realitas/dunia yang hanya terbuka
bagi rasio, dan dunia yang terbuka bagi pancaindra, dunia pertama terdiri dari
idea-idea, dan dunia ke dua adalah dunia jasmani (pancaindra), dunia ide sifatnya
sempurna dan tetap, sedangkan dunia jasmani selalu berubah. Dengan pendapatnya
tersebut, menurut Kees Berten (1976), Plato berhasil mendamaikan
pendapatnya Herakleitos dengan pendapatnya Permenides, menurut Herakleitos
segala sesuatu selalu berubah, ini benar kata Plato, tapi hanya bagi dunia Jasmani
(Pancaindra), sementara menurut Permenides segala sesuatu sama sekali
sempurna dan tidak dapat berubah, ini juga benar kata Plato, tapi hanya berlaku
pada dunia idea saja.
Dalam sejarah Filsafat Yunani, terdapat seorang filsuf yang
sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M), seorang yang pernah
belajar di Akademia Plato di Athena. Setelah Plato meninggal Aristoteles
menjadi guru pribadinya Alexander Agung selama dua tahun, sesudah itu
dia kembali lagi ke Athena dan mendirikan Lykeion, dia sangat mengagumi
pemikiran-pemikiran Plato meskipun dalam filsafat, Aristoteles mengambil jalan
yang berbeda (Aristoteles pernah mengatakan-ada juga yang berpendapat bahwa
ini bukan ucapan Aristoteles- Amicus Plato, magis amica veritas –
Plato memang sahabatku, tapi kebenaran
lebih akrab bagiku – ungkapan ini terkadang diterjemahkan bebas menjadi “Saya
mencintai Plato, tapi saya lebih mencintai kebenaran”)
Aristoteles mengkritik tajam pendapat
Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum dan tetap bukanlah dalam
dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk itu
Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi, Morphe = bentuk),
menurut teori ini, setiap benda jasmani
memiliki dua hal yaitu bentuk dan
materi, sebagai contoh, sebuah patung pasti memiliki dua hal yaitu materi atau
bahan baku patung misalnya kayu atau batu, dan bentuk misalnya bentuk kuda atau
bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu sama lain, contoh tersebut hanyalah
untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam pandangan Aristoteles materi dan bentuk
itu merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh dimingkinkannya Ilmu
pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme
juga menjadi dasar bagi pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari
materi dan bentuk, bentuk adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas
dari materi, maka konsekwensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya
(bentuk) juga akan hancur.
Disamping pendapat
tersebut Aristoteles juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu cara
berpikir yang teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab
akibat. Dia adalah yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur dalam suatu sistem, yang intisarinya adalah Sylogisme
(masalah ini akan diuraikan khusus dalam topik Logika) yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan umum atas hal yang
khusus (Mohammad Hatta, 1964).
Abad Pertengahan. Semenjak meninggalnya Aristoteles,
filsafat terus berkembang dan mendapat kedudukan yang tetap penting dalam
kehidupan pemikiran manusia meskipun dengan corak dan titik tekan yang berbeda.
Periode sejak meninggalnya Aristoteles (atau sesudah meninggalnya Alexander
Agung (323 S.M) sampai menjelang lahirnya Agama Kristen oleh Droysen
(Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode Hellenistik (Hellenisme adalah istilah
yang menunjukan kebudayaan gabungan antara budaya Yunani dan Asia Kecil, Siria,
Mesopotamia, dan Mesir Kuno). Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain
dengan perhatian pada hal yang lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan
Metafisika, dengan semangat yang Eklektik (mensintesiskan pendapat yang
berlawanan) dan bercorak Mistik.
Menurut A. Epping. at al (1983), ciri
manusia (pemikiran filsafat) abad pertengahan adalah :
1.
Ciri berfilsafatnya dipimpin oleh Gereja
2.
Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran
Aristoteles
3.
berfilsafat dengan pertolongan Augustinus
pada masa ini filsafat cenderung
kehilangan otonominya, pemikiran filsafat abad pertengahan bercirikan Teosentris
(kebenaran berpusat pada wahyu Tuhan), hal ini tidak mengherankan mengingat
pada masa ini pengaruh Agama Kristen sangat besar dalam kehidupan manusia,
termasuk dalam bidang pemikiran.
Filsafat
abad pertengahan sering juga disebut filsafat scholastik, yakni filsafat
yang mempunyai corak semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi.
Pada masa ini memang terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara
pemikiran Rasional (terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu
Tuhan sehingga dapat dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan
akal. Keadaan ini pun terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat ajaran
Islam dengan sudut pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat
begitu kuatnya pengaruh pemikiran-pemikiran ahli filsafat Yunani/hellenisme
dalam dunia pemikiran saat itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan
landasan filosofisnya agar menjadi suatu keyakinan yang rasional.
Pemikiran-pemikiran yang
mencoba melihat Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia Islam
maupun Kristen, sehingga para ahli mengelompokan filsafat skolastik ke dalam
filsafat skolastik Islam dan filsafat skolastik Kristen.
Di dunia Islam (Umat
Islam) lahir filsuf-filsuf terkenal seperti Al Kindi (801-865 M), Al Farabi (870-950 M), Ibnu Sina
(980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd
(1126-1198), sementara itu di dunia Kristen lahir Filsuf-filsuf antara lain
seperti Peter Abelardus
(1079-1180), Albertus Magnus (1203-1280 M), dan Thomas Aquinas
(1225-1274). Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga orang-orang yang
mendalami ajaran agamanya masing-masing, sehingga corak pemikirannya mengacu
pada upaya mempertahankan keyakinan agama dengan jalan filosofis, meskipun
dalam banyak hal terkadang ajaran Agama dijadikan Hakim untuk memfonis benar
tidaknya suatu hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran Rasional).
Masa
Modern.
Pada masa ini pemikiran filosofis seperti dilahirkan kembali dimana sebelumnya
dominasi gereja sangat dominan yang berakibat pada upaya mensinkronkan antara
ajaran gereja dengan pemikiran filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai
zaman modern dengan salah seorang pelopornya adalah Descartes, dia berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi
kembali rasio yang sebelumnya hanya menjadi budak keimanan.
Diantara
pemikiran Desacartes (1596-1650) yang
penting adalah diktum kesangsian, dengan mengatakan Cogito ergo sum, yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada.
Dengan ungkapan ini posisi rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi
semakin kuat, ajarannya punya pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, segala sesuatu bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir
menguatkan kepada kepastian.
Dalam
perkembangnnya argumen Descartes (rasionalisme) mendapat tantangan keras dari para
filosof penganut Empirisme seperti David Hume (1711-1776), John Locke
(1632-1704). Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari
pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut terus berlanjut
sampai muncul Immanuel Kant (1724-1804) yang berhasil membuat sintesis antara
rasionalisme dengan empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh sentral dalam
zaman modern dengan pernyataannya yang terkenal sapere aude(berani berfikir sendiri), pernyataan ini jelas makin
mendorong upaya-upaya berfikir manusia tanpa perlu takut terhadap kekangan dari
Gereja.
Pandangan
empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah
munculnya pandangan August Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu
buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga
tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta
yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif
Tingkatan Teologi (Etat Theologique).
Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami
hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam
semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat
pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari
berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi
yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique).
Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis,
dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya
dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang
menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian
sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive).
Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai
alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir
berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi
kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih
percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan
ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek
yang diketahui) alam serta
memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana
manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan
memperhatikan tahapan-tahapan seperti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah
positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif)
dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini
berarti dua tahapan sebelumnya merupakan
tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme
merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat
diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai
arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui
(fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus
menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta
hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa
yang akan terjadi, Comte menyebut
hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat
positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan
bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
Pengaruh
positivisme yang sangat besar dalam zaman modern sampai sekarang ini, telah
mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang
narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel
Bell dalam bukunya The cultural
contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa
etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi
telah berubah menjadi hedonis konsumeristis.
Postmodernisme
pada dasarnya merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi
universal serta kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih memberikan tempat
pada narasi-narasi kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada
keberagaman dalam memaknai kehidupan.